Aku tersentak.
Bayangan mimpi tadi masih berkeliaran di kepalaku. Bangun
pagi, sarapan pergi ke sekolah..
“ya ampun sekolah!” aku panik. Jam menunjukkan pukul
07.15. wah, pasti telat banget. Mandi
dan sarapan kulakukan dengan kecepatan bak pembalap Lorenzo. Sampai ibu dan
ayah geleng-geleng kepala dibuatnya.
“jadi, ibu bangunin tadi, kamu belum juga bangun?” sapa
ibu
“sudah SMA loh nak, masih suka telat gitu,”
Aku tidak bisa menggubris kata-kata mereka lagi.
“yah, bu, Rika pergi ya,” kutarik tangan mereka berdua
untuk salaman. Aku pun berlari, untuknya jarak sekolah ke rumahku dekat. Tapi,
jam sudah menunjukkan pukul 07.35.
Ditengah kepanikan itu, terlintas ingatan jadwal hari
ini. Bukannya masuk jam 07.45?
“syukurlah tepat waktu,” aku lega. Lega sekali. Bukannya
apa-apa. Inikan hari pertama orientasi siswa baru, masak telat sih.
Kemudian aku berkenalan dengan Siska.
“kamu yang tadi hampir telat ya?”
“he he, iya, aku memang suka begitu,” ternyata aku hampir
telat tadi.
“aku Siska, kamu?”
“Rika,”
Kemudian kami diam. Kehabisan bahan omongan.
“Sis, kamu tinggal di mana?”
Lama Siska terdiam. Apa aku mengucapkan sesuatu yang
salah tadi?
“eh, maaf, apa ada yang salah dengan pertanyaanku?”
Siska tersenyum.
“haha, nggak kok Rik, aku sedang berpikir, bagaimana
menjelaskan tempat tinggalku padamu,” jelasnya.
“maksudnya?”
“aku tinggal di seberang sungai, dekat pasar itu loh
Rik,”
Aku takjub. Dekat pasar? Berarti jauh banget.
“jauh dong?”
Ia mengangguk, “ia, sekitar tiga kilometer,”
Aku takjub, wow! “kamu, pake apa ke sini?”
“sepeda,” dengan santai Siska menjawab.
Aku malah lebih takjub lagi.
Sepeda?
Satu minggu setelah masa orientasi, kami belajar seperti
biasa. Dan tentunya masuk pada jam biasa. Jam 07.00. Jam yang aku tak pernah
datang tepat waktu dari dulu.
“telat lagi Rik?”
“iya nih Sis,”
“kamu nggak pasang weker? Atau minta dibangunin papa mama
kamu?”
Aku merenung sejenak. Weker? Ada empat buah kali di
kamar. Semua aku setting pada jam 05.00 pagi. Dan ibu? Atau ayah? Mereka
bergantian bangunin aku dari dulu, tapi tetep aja, setelah bangun, sholat
subuh, lalu aku tidur lagi. Itulah masalahnya.
“oh, jadi kamu tidur lagi?” Tanya siska setelah
kujelaskan apa adanya.
“iya, ngantuk banget sih,”
“pantesan aja,”
Kami tertawa, lalu aku penasaran, kenapa Siska nggak
pernah telat ke sekolah. Padahal rumahnya kan jauh banget.
“kok kamu nggak pernah telat Sis?”
“aku selalu bangun jam 04.30 pagi, ya, setelah itu aku
nggak bisa tidur lagi. Soalnya kan langsung siap-siap berangkat,”
“oh,”
Pagi ini, pak maman sudah mulai mengajar di papan tulis,
beliau hanya geleng-geleng kepala melihatku terlambat lagi.
Bangkuku kosong? Berarti Siska nggak ada. Apa dia ke
toilet?
Teng.. teng.. teng..
Bel istirahat berbunyi. Dan aku masih sendiri. Artinya
Siska beneran nggak masuk.
“halo, ini Siska kan? Kok nggak masuk Sis?”
“eng, sepedaku rusak Rika, dan nggak ada yang bisa
nganter aku pagi-pagi,”
“oh, begitu, ya udah, nanti kamu pinjem catatanku aja
ya,”
Iya, makasih Rik, udah dulu ya,” Siska menutup pembicaraan
kami.
Keesokan harinya Siska tidak
masuk lagi. Mungkin sepedanya masih rusak. Kemudian aku terpikirkan suatu ide
yang sangat cemerlang.
“tapi, aku nggak bisa ngerepotin orang Rik,”
Aku menyampaikan ideku pada Siska, yaitu untuk tinggal
dirumahku saja.
“nggak kok,”
“aku juga nggak mau hutan budi sama orang, pake apa aku
membalas kamu nanti?”
“gini aja, aku kan susah banget bangun pagi, jadi kamu
jadi weker aku aja?”
Kening Siska mengkerut. Tak lama, bibirnya pun tersenyum.
Dan ia mengangguk tanda setuju.
“yes! Makasih ya Sis,”
“nggak, aku yang harusnya bilang itu,”
Masalah beres, aku sudah punya weker baru yang membuatku
tidak telat lagi. Dan Siska, kini bisa berangkat sekolah, meskipun sepedanya
rusak.
Indahnya persahabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar