Senin, 24 Maret 2014

bunga berbicara



Bunga Berbicara
“kalian pasti senang ya, hujannya cukup lebat, pasti banyak air untuk persediaan kalian,”
Aku memperhatikan tingkah mila di taman. Dia sedang bercengkrama dengan bunga-bunga. Anak ini agak berbeda dengan yang lain, dia lebih suka menyendiri ke taman dan bicara dengan bunga daripada bersosialisasi dengan teman-temannya.
Perlahan kuhampiri mila, kupasang wajah seramah mungkin.
“mila,”
Gadis kecil itu menoleh sesaat kepadaku. Kemudian kembali dengan bunganya.
“kamu nggak ikut main sama teman kamu?” kucoba berinteraksi dengannya.
“ini aku lagi main sama temanku,” jawabnya tanpa menoleh
“maksud ibu, main sama tiara, andin, sukma,”
Lalu dia menatap tajam terhadapku. Aku terkejut, itu bukan tatapan biasa yang dimiliki seorang anak kecil seumuran mila.
“mereka bukan teman, mereka monster,” kemudian mila pergi meninggalkanku yang masih tercengang dengan pernyataannya.
*
Aku guru baru di sini. Di tk yang sudah bertahun-tahun di bangun ini aku ditugaskan. Walau baru dua hari, aku mulai mengenal sosok-sosok mungil yang berkeliaran di sini. Terutama mila.
“mila itu memang pendiam, sejak masuk sini, dia jarang sekali berinteraksi dengan temannya. Kalaupun iya, pasti berbentuk hal negative,” ungkap ibu kepala
Aku masih belum paham dengan maksud beliau,”negative maksudnya?”
Kulihat ibu kepala menghela nafas,”seperti bertengkar, kekerasan fisik, dan lain-lain, pemicunya karena mila sering di ejek, sehingga dia kesal dan memukul anak-anak lain,”
Aku mengangguk, pantas saja mila bilang kalau temannya itu monster.
“memangnya, ejekan apa yang membuat mila demikian marahnya bu?”
“anak-anak itu mengatainya orang gila, karena mila sering bicara sendiri atau bicara pada bunga,”
Aku paham sekarang.
*
Kedatanganku pagi ini ke kelas a1 langsung diwarnai oleh hal yang kurang mengenakkan. Mila menjambak rambut tiara, dan bukannya melerai, anak-anak lain malah ikut mrnyoraki. Dasar anak-anak.
Aku memisahkan mereka berdua, “ada apa ini?”
“orang gila ini bu, jambakin rambut aku,” jawab tiara
“dia duluan ngatain aku,” balas mila disertai dengan tatapan tajamnya.
Lalu perkelahian akan dimulai lagi, namun secepatnya aku melerai. Lalu kuambil tas mila dan kuajak dia keluar. Ke tempat kesukaannya. Di taman.
Ku ajak dia duduk disampingku, lalu kuberi ia lollipop sebagai penenang. Tidak seperti anak lain yang biasanya langsung menerima bila ku beri benda seperti ini, mila melihatpun tidak. Sepertinya dia tidak berminat. Lalu aku beranjak mengambil satu bunga yang telah gugur. Kuberi padanya dan seperti dugaanku, dia mengambil bunga itu.
“mila kenapa kok tadi gitu sih? Mila kan anak baik,”
Mila mengusapkan bunga itu ke pipinya, lalu membisikkan sesuatu seakan bunga itu adalah sahabat terbaiknya.
“mila nggak suka ya punya banyak teman?” tanyaku lagi
“aku suka punya banyak teman,” mila membuka suara. “tapi bukan dengan mereka,”
“lalu mila ingin berteman dengan siapa?”
“mereka,” mila menunjuk ke depan, samping dan belakang. Tak kulihat siapapun. Hanya kumpulan bunga- bunga yang warna-warni.
“siapa?” kemudian tanganku ditarik mila. Kami menuju ke kumpulan bunga.
“dia,” mila menunjuk salah satu bunga itu, “dia temanku. Begitu pula yang lainnya. Mereka tidak pernah mengejekku, mereka selalu mendengarkan ceritaku,”
Kemudian mila mengusap-usap bunga kering yang kuberikan tadi,”apa menurut ibu, aku ini seperti yang anak-anak itu katakan?”
Aku terhenyak, ternyata mila menanggapi ejekan anak-anak itu. Lalu kucoba tersenyum dan mengusap kepala mila.
“menurut mila sendiri bagaimana? Apakah mila terlihat seperti yang mereka katakan?”
Mila menatapku dan menggeleng, “enggak,” tukasnya.
Aku ajak dia duduk dibangku taman.
“mila bisa bicara dengan mereka ya?”
 ‘mereka’ yang aku maksud adalah bunga yang selalu diajak mila bicara. Dia mengangguk, lalu mendekatkan bunga yang tadi kuberikan padanya ditelingaku.
“ibu dengar dia berkata apa?”
Terang saja aku mengerutkan keningku. Bagaimana aku bisa mendengar sesuatu yang tidak bisa mengeluarkan suara?
Lalu mila mendekatkan bunga itu ditelinganya dan mengangguk-angguk seakan benda yang sudah hamper layu itu mengatakan sesuatu padanya.
Dan aku melihat sesuatu yang jarang sekali kulihat, bahkan seingatku belum pernah kulihat. Senyuman mila. Selama ini ekspresinya datar, atau sinis dengan tatapan tajamnya. Tapi kali ini, setelah mendengar ‘bisikan’ dari bunga itu, dia tersenyum.
“dia bilang, dia senang ibu di sini,” katanya padaku. “aku juga senang bisa bersama ibu sekarang,” kemudian mila memelukku. Aku sedikit kaget dengan tingkahnya. Lama baru mila melepaskan pelukan eratnya padaku.
“bu, ibu maukan antar mila pulang?” Tanya mila seusai memelukku.
Aku bingung, aku sama sekali tidak tau dimana anak ini tinggal.
“tapi, ibu nggak tau mila tinggal dimana, lagipula nanti yang biasa jemput mila jadi khawatir karena mila nggak ada di tk,” aku memang melihat mila selalu dijemput mobil mewah setiap hari. Tapi aku tidak tau siapa yang menjemput, mungkin ayahnya, ibunya, atau bisa saja sopir orang tuanya.
Kemudian mila mengeluarkan sesuatu dari dari dalam tasnya. Dan betapa terkejutnya aku melihat benda yang kini sedang digunakan gadis kecil itu. Sebuah smartphone yang baru-baru saja hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Aku tak habis pikir, kenapa barang secanggih itu sudah berada ditangan anak berumur lima tahun yang masih sangat-sangat kecil untuk memilikinya. Lalu kulirik handphone butut di saku bajuku. Sedikit meringis hati ini.
“mak inah, bilang pak gatot nggak usah jemput mila ya, mila pulang sama ibu guru,” dan terdengar bunyi klik pertanda hubungan diputus, sepertinya orang yang diseberang sana belum sempat menjawab kata-kata mila. Belum selesai rasa kagetku, mila menarikku menuju parkiran, tempat biasa aku memarkir kendaraanku.
“ibu!” mila menghentakkan kakinya dan membuyarkan lamunanku.
“ada apa mila?”
“ibu pakai apa?” aku paham maksudnya, pasti dia menanyakan kendaraan yang kupakai.
“motor,” tukasku membuat mila sontak melompat kegirangan, aku heran, memang seberapa hebat naik motor dibandingkan dengan kendaraan yang biasa menjemputnya.
“asyik! Aku belum pernah naik motor sekalipun bu,”
Dan aku pun paham sebabnya dia melompat seperti itu
*
Ternyata jarak rumah mila ke tk lumayan jauh juga. Atau mungkin mila yang berputar-putar saat menunjukkan jalan padaku. Entahlah. Yang jelas sekarang kami telah berhenti di depan sebuah rumah megah nan artistic yang mempunyai pagar tinggi sekali. Lalu mila berlari ke pojok pagar dan memencet bel. Tak lama, pintu pagar terbuka dengan sendirinya dan mila mengajakku masuk ke rumah dengan halaman yang luas serta dipenuhi bunga-bunga.
Sesampainya di dalam, kami langsung disambut oleh seorang wanita yang kira-kira umurnya  diambang 50an.
“mak inah, ini bu guru,” mila memperkenalkanku pada wanita yang dipanggilnya mak inah itu.
“oh, saya inah, pengasuhnya non mila. Mari den guru, masuk,”
Oh, ternyata pengasuhnya, pikirku. Dan akupun masuk ke rumah besar yang tampak lenggang itu. Aku duduk dan mila berlari menaiki tangga.
“den guru mau minum apa?” Tanya mak inah.
“oh nggak usah, jadi ngerepotin, saya kesini Cuma nganterin mila aja kok,”
“oh tidak apa-apa den guru, sudah tugas saya, sebentar ya den,” kemudian wanita itu bergegas masuk ke dalam.
Aku memperhatikan sekeliling rumah ini, besar memang, namun tak Nampak warna keceriaan. Mungkin karena sepi. Lalu kulihat beberapa poto yang dipajang di meja, ada seorang pria dengan seorang wanita. Mungkin ayah dan ibu mila, lalu kulihat poto mila besama lelaki itu. Sudah bisa kutebak mereka adalah orang tua mila.
“ini minumnya den guru, silahkan,” aku tersenyum lalu minum tanpa melepaskan pandanganku pada poto itu.
“maaf sebelumnya, kalau boleh saya tau, ayah ibu mila kemana ya?”
Terlihat jelas perubahan raut wajah mak inah. Aku sedikit menyesal telah mengeluarkan pertanyaan itu. Namun baru saja aku mau meminta maaf dan menarik pertanyaanku, mak inah buka suara.
“ayah mila sedang bekerja sekarang, kalau ibu mila…,”
Kemudian mak inah bercerita semua tentang kehidupan mila. Dari beliaulah aku tau kalau ibu mila meninggal ketika mila berusia tiga tahun, usia yang masih sangat membutuhkan kasih sayang ibu. Kemudian, pak banu, ayah mila, menikah lagi dengan seorang wanita karir yang super sibuk. Sehingga mila tetap tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Sewaktu masih hidup, ibu mila sangat suka pada bunga, dari kecil, mila sudah diperkenalkan dengan bunga yang ada di halaman rumahnya. Mungkin itulah sebabnya mila merasa senang bila bersama bunga, membuat kerinduan pada ibunya terobati, simpulku.
Aku sedikit paham sekarang mengenai sikap mila selama ini. Mungkin ini sebabnya. Karena ia selalu merasa kesepian, dan menganggap hanya bungalah yang mampu mengobati kesepiannya itu.
Setelah ngobrol cukup lama dengan mak inah, serta bergurau dengan mila, aku pun pamit pulang. Awalnya mila tidak mengijinkan, malah memintaku untuk menginap dan menemaninya tidur. Tapi setelah aku berjanji setiap hari akan berkunjung ke sini dan menemaninya, dia melepaskan aku pergi, walau dengan tatapan sendu.
Sepanjang perjalanan pulang, aku merenung. Gadis kecil seperti mila yang haus akan kasih sayang seharusnya bisa mendapat perhatian lebih dari orang terdekatnya, bukan pengasuh, melaiinkan orang tua. Hal ini bisa berpengaruh pada psikologi mila, dan yang kutakutkan, bisa membawa dampak negative terhadap perkembangan mila.
Aku berjanji pada diriku, akan ku buat mila tidak kesepian lagi, harapan terbesarku, mila bisa berubah, dan mulai bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya. Bukan dengan bunga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar