Bunga
Berbicara
“kalian pasti senang
ya, hujannya cukup lebat, pasti banyak air untuk persediaan kalian,”
Aku memperhatikan
tingkah mila di taman. Dia sedang bercengkrama dengan bunga-bunga. Anak ini
agak berbeda dengan yang lain, dia lebih suka menyendiri ke taman dan bicara
dengan bunga daripada bersosialisasi dengan teman-temannya.
Perlahan kuhampiri
mila, kupasang wajah seramah mungkin.
“mila,”
Gadis kecil itu menoleh
sesaat kepadaku. Kemudian kembali dengan bunganya.
“kamu nggak ikut main
sama teman kamu?” kucoba berinteraksi dengannya.
“ini aku lagi main sama
temanku,” jawabnya tanpa menoleh
“maksud ibu, main sama
tiara, andin, sukma,”
Lalu dia menatap tajam
terhadapku. Aku terkejut, itu bukan tatapan biasa yang dimiliki seorang anak
kecil seumuran mila.
“mereka bukan teman,
mereka monster,” kemudian mila pergi meninggalkanku yang masih tercengang
dengan pernyataannya.
*
Aku guru baru di sini.
Di tk yang sudah bertahun-tahun di bangun ini aku ditugaskan. Walau baru dua
hari, aku mulai mengenal sosok-sosok mungil yang berkeliaran di sini. Terutama
mila.
“mila itu memang
pendiam, sejak masuk sini, dia jarang sekali berinteraksi dengan temannya.
Kalaupun iya, pasti berbentuk hal negative,” ungkap ibu kepala
Aku masih belum paham
dengan maksud beliau,”negative maksudnya?”
Kulihat ibu kepala
menghela nafas,”seperti bertengkar, kekerasan fisik, dan lain-lain, pemicunya
karena mila sering di ejek, sehingga dia kesal dan memukul anak-anak lain,”
Aku mengangguk, pantas
saja mila bilang kalau temannya itu monster.
“memangnya, ejekan apa
yang membuat mila demikian marahnya bu?”
“anak-anak itu
mengatainya orang gila, karena mila sering bicara sendiri atau bicara pada
bunga,”
Aku paham sekarang.
*
Kedatanganku pagi ini
ke kelas a1 langsung diwarnai oleh hal yang kurang mengenakkan. Mila menjambak
rambut tiara, dan bukannya melerai, anak-anak lain malah ikut mrnyoraki. Dasar
anak-anak.
Aku memisahkan mereka
berdua, “ada apa ini?”
“orang gila ini bu,
jambakin rambut aku,” jawab tiara
“dia duluan ngatain
aku,” balas mila disertai dengan tatapan tajamnya.
Lalu perkelahian akan
dimulai lagi, namun secepatnya aku melerai. Lalu kuambil tas mila dan kuajak
dia keluar. Ke tempat kesukaannya. Di taman.
Ku ajak dia duduk
disampingku, lalu kuberi ia lollipop sebagai penenang. Tidak seperti anak lain
yang biasanya langsung menerima bila ku beri benda seperti ini, mila melihatpun
tidak. Sepertinya dia tidak berminat. Lalu aku beranjak mengambil satu bunga
yang telah gugur. Kuberi padanya dan seperti dugaanku, dia mengambil bunga itu.
“mila kenapa kok tadi
gitu sih? Mila kan anak baik,”
Mila mengusapkan bunga
itu ke pipinya, lalu membisikkan sesuatu seakan bunga itu adalah sahabat
terbaiknya.
“mila nggak suka ya
punya banyak teman?” tanyaku lagi
“aku suka punya banyak
teman,” mila membuka suara. “tapi bukan dengan mereka,”
“lalu mila ingin
berteman dengan siapa?”
“mereka,” mila menunjuk
ke depan, samping dan belakang. Tak kulihat siapapun. Hanya kumpulan bunga-
bunga yang warna-warni.
“siapa?” kemudian
tanganku ditarik mila. Kami menuju ke kumpulan bunga.
“dia,” mila menunjuk
salah satu bunga itu, “dia temanku. Begitu pula yang lainnya. Mereka tidak
pernah mengejekku, mereka selalu mendengarkan ceritaku,”
Kemudian mila
mengusap-usap bunga kering yang kuberikan tadi,”apa menurut ibu, aku ini
seperti yang anak-anak itu katakan?”
Aku terhenyak, ternyata
mila menanggapi ejekan anak-anak itu. Lalu kucoba tersenyum dan mengusap kepala
mila.
“menurut mila sendiri
bagaimana? Apakah mila terlihat seperti yang mereka katakan?”
Mila menatapku dan
menggeleng, “enggak,” tukasnya.
Aku ajak dia duduk
dibangku taman.
“mila bisa bicara
dengan mereka ya?”
‘mereka’ yang aku maksud adalah bunga yang
selalu diajak mila bicara. Dia mengangguk, lalu mendekatkan bunga yang tadi
kuberikan padanya ditelingaku.
“ibu dengar dia berkata
apa?”
Terang saja aku
mengerutkan keningku. Bagaimana aku bisa mendengar sesuatu yang tidak bisa
mengeluarkan suara?
Lalu mila mendekatkan
bunga itu ditelinganya dan mengangguk-angguk seakan benda yang sudah hamper
layu itu mengatakan sesuatu padanya.
Dan aku melihat sesuatu
yang jarang sekali kulihat, bahkan seingatku belum pernah kulihat. Senyuman
mila. Selama ini ekspresinya datar, atau sinis dengan tatapan tajamnya. Tapi
kali ini, setelah mendengar ‘bisikan’ dari bunga itu, dia tersenyum.
“dia bilang, dia senang
ibu di sini,” katanya padaku. “aku juga senang bisa bersama ibu sekarang,”
kemudian mila memelukku. Aku sedikit kaget dengan tingkahnya. Lama baru mila
melepaskan pelukan eratnya padaku.
“bu, ibu maukan antar
mila pulang?” Tanya mila seusai memelukku.
Aku bingung, aku sama
sekali tidak tau dimana anak ini tinggal.
“tapi, ibu nggak tau
mila tinggal dimana, lagipula nanti yang biasa jemput mila jadi khawatir karena
mila nggak ada di tk,” aku memang melihat mila selalu dijemput mobil mewah
setiap hari. Tapi aku tidak tau siapa yang menjemput, mungkin ayahnya, ibunya,
atau bisa saja sopir orang tuanya.
Kemudian mila
mengeluarkan sesuatu dari dari dalam tasnya. Dan betapa terkejutnya aku melihat
benda yang kini sedang digunakan gadis kecil itu. Sebuah smartphone yang
baru-baru saja hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Aku tak habis pikir, kenapa
barang secanggih itu sudah berada ditangan anak berumur lima tahun yang masih
sangat-sangat kecil untuk memilikinya. Lalu kulirik handphone butut di saku
bajuku. Sedikit meringis hati ini.
“mak inah, bilang pak
gatot nggak usah jemput mila ya, mila pulang sama ibu guru,” dan terdengar
bunyi klik pertanda hubungan diputus, sepertinya orang yang diseberang sana
belum sempat menjawab kata-kata mila. Belum selesai rasa kagetku, mila
menarikku menuju parkiran, tempat biasa aku memarkir kendaraanku.
“ibu!” mila
menghentakkan kakinya dan membuyarkan lamunanku.
“ada apa mila?”
“ibu pakai apa?” aku
paham maksudnya, pasti dia menanyakan kendaraan yang kupakai.
“motor,” tukasku
membuat mila sontak melompat kegirangan, aku heran, memang seberapa hebat naik
motor dibandingkan dengan kendaraan yang biasa menjemputnya.
“asyik! Aku belum
pernah naik motor sekalipun bu,”
Dan aku pun paham
sebabnya dia melompat seperti itu
*
Ternyata jarak rumah
mila ke tk lumayan jauh juga. Atau mungkin mila yang berputar-putar saat
menunjukkan jalan padaku. Entahlah. Yang jelas sekarang kami telah berhenti di
depan sebuah rumah megah nan artistic yang mempunyai pagar tinggi sekali. Lalu
mila berlari ke pojok pagar dan memencet bel. Tak lama, pintu pagar terbuka
dengan sendirinya dan mila mengajakku masuk ke rumah dengan halaman yang luas serta
dipenuhi bunga-bunga.
Sesampainya di dalam,
kami langsung disambut oleh seorang wanita yang kira-kira umurnya diambang 50an.
“mak inah, ini bu
guru,” mila memperkenalkanku pada wanita yang dipanggilnya mak inah itu.
“oh, saya inah,
pengasuhnya non mila. Mari den guru, masuk,”
Oh, ternyata
pengasuhnya, pikirku. Dan akupun masuk ke rumah besar yang tampak lenggang itu.
Aku duduk dan mila berlari menaiki tangga.
“den guru mau minum
apa?” Tanya mak inah.
“oh nggak usah, jadi
ngerepotin, saya kesini Cuma nganterin mila aja kok,”
“oh tidak apa-apa den
guru, sudah tugas saya, sebentar ya den,” kemudian wanita itu bergegas masuk ke
dalam.
Aku memperhatikan
sekeliling rumah ini, besar memang, namun tak Nampak warna keceriaan. Mungkin
karena sepi. Lalu kulihat beberapa poto yang dipajang di meja, ada seorang pria
dengan seorang wanita. Mungkin ayah dan ibu mila, lalu kulihat poto mila besama
lelaki itu. Sudah bisa kutebak mereka adalah orang tua mila.
“ini minumnya den guru,
silahkan,” aku tersenyum lalu minum tanpa melepaskan pandanganku pada poto itu.
“maaf sebelumnya, kalau
boleh saya tau, ayah ibu mila kemana ya?”
Terlihat jelas
perubahan raut wajah mak inah. Aku sedikit menyesal telah mengeluarkan
pertanyaan itu. Namun baru saja aku mau meminta maaf dan menarik pertanyaanku,
mak inah buka suara.
“ayah mila sedang
bekerja sekarang, kalau ibu mila…,”
Kemudian mak inah
bercerita semua tentang kehidupan mila. Dari beliaulah aku tau kalau ibu mila
meninggal ketika mila berusia tiga tahun, usia yang masih sangat membutuhkan
kasih sayang ibu. Kemudian, pak banu, ayah mila, menikah lagi dengan seorang
wanita karir yang super sibuk. Sehingga mila tetap tidak bisa merasakan kasih
sayang seorang ibu. Sewaktu masih hidup, ibu mila sangat suka pada bunga, dari
kecil, mila sudah diperkenalkan dengan bunga yang ada di halaman rumahnya.
Mungkin itulah sebabnya mila merasa senang bila bersama bunga, membuat
kerinduan pada ibunya terobati, simpulku.
Aku sedikit paham
sekarang mengenai sikap mila selama ini. Mungkin ini sebabnya. Karena ia selalu
merasa kesepian, dan menganggap hanya bungalah yang mampu mengobati kesepiannya
itu.
Setelah ngobrol cukup
lama dengan mak inah, serta bergurau dengan mila, aku pun pamit pulang. Awalnya
mila tidak mengijinkan, malah memintaku untuk menginap dan menemaninya tidur.
Tapi setelah aku berjanji setiap hari akan berkunjung ke sini dan menemaninya,
dia melepaskan aku pergi, walau dengan tatapan sendu.
Sepanjang perjalanan
pulang, aku merenung. Gadis kecil seperti mila yang haus akan kasih sayang
seharusnya bisa mendapat perhatian lebih dari orang terdekatnya, bukan
pengasuh, melaiinkan orang tua. Hal ini bisa berpengaruh pada psikologi mila,
dan yang kutakutkan, bisa membawa dampak negative terhadap perkembangan mila.
Aku berjanji pada diriku,
akan ku buat mila tidak kesepian lagi, harapan terbesarku, mila bisa berubah,
dan mulai bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya. Bukan dengan bunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar