Senin, 29 September 2014

desain pembelajaran



Desain Pembelajaran Berdasarkan Aplikasi Konsep Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
Pengertian desain pembelajaran
Desain pembelajaran sebagai proses menurut Syaiful Sagala (2005:136) adalah  pengembangan pengajaran secara sistematik yang digunakan secara khusus teori-teori pembelajaran unuk menjamin kualitas pembelajaran. Mengandung arti bahwa penyusunan perencanaan pembelajaran harus sesuai dengan konsep pendidikan dan pembelajaran yang dianut dalam kurikulum yang digunakan.

Pengertian Teori Belajar Konstruktivisme

Teori belajar konstruktivisme ini bertitik tolak daripada teori pembelajaran Behaviorisme yang didukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingkah laku pada pelajar. Pembelajaran dianggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku kepada pelajar, contohnya dari tidak tahu kepada tahu. Hal ini, kemudiannya beralih kepada teori pembelajaran Kognitivisme yang diperkenalkan oleh Jean Piaget di mana ide utama pandangan ini adalah mental. Semua dalam diri individu diwakili melalui struktur mental dikenal sebagai skema yang akan menentukan bagaimana data dan informasi yang diterima, difahami oleh manusia. Jika ide tersebut sesuai dengan skema, ide ini akan diterima begitu juga sebaliknya dan seterusnya lahirlah teori pembelajaran Konstruktivisme yang merupakan pandangan terbaru di mana pengetahuan akan dibangun sendiri oleh pelajar berdasarkan pengetahuan yang ada pada mereka. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi tahu dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme.

Pembelajaran Konstruktivis
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:
(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relevan,
 (2) mengutamakan proses,
 (3) menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial,
 (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Menurut sidik (2008), bahwa pembelajaran konstruktivisme meliputi empat tahapan yaitu:
1. Apersepsi: Menghubungkan konsepsi awal, mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan dari materi sebelumnya yang merupakan konsep prasyarat.
2. Eksplorasi: Mengungkapkan dugaan sementara terhadap konsep yang dipalajari, menggali menyelidiki dan menemukan konsep dapat melalui manipulasi benda langsung.
3. Diskusi dan Penjelasan Konsep: Mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan tamuannya, Guru memfasilitasi dan memotivasi kelas.
4. Pengembangan dan Aplikasi: Pemberikan penekanan terhadap konsep-konsep esensial, merumuskan kesimpulan dan menerapkan pemahaman konseptual melalui pengerjaan tugas atau proyek.

Model Pembelajaran Kontruktivis Dalam M¬atematika
Setelah guru memberikan kasus misalnya contoh-contoh, siswa mengamati, membandingkan, mengenal karakteristik, dan berusaha menyerap berbagai informasi yang terkandung dalam kasus tersebut untuk digunakan memperoleh kesimpulan . Ini merupakan bagian kegiatan yang penting dalam pembelajaran matematika beracuan kosntruktivisme . Melalui pengamatan pada kasus-kasus tersebut, siswa memperoleh “pengalaman” yang diserap di benak siswa. Dengan demikian terjadi aktivitas aktif siswa dalam mengkonstruk matematika melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Contoh : LKS UNTUK TINGKAT SMP
Setelah mengamati beberapa bentuk beberapa Bangun yang antara lain : KUBUS, BALOK, KERUCUT , LIMAS DAN PRISMA, Maka berikanlah jawaban Pada titik – Titik yang tersedia berikut :
a. Berapa banyak Rusuk pada KUBUS ? (…………………)
b. Berapa banyak Rusuk pada BALOK ? (…………………)
c. Berapa banyak Rusuk pada PRISMA SEGI TIGA ? (…………………)
d. Berapa banyak Rusuk pada LIMAS SEGI EMPAT ? (…………………)
e. Berapa banyak Rusuk pada KERUCUT ? (…………………)
f. Berikutnya diskusikan dengan teman sebangkumu ” Apa arti RUSUK pada bangun-bangun itu ”
g. Tuliskan Hasil diskusi tersebut :
…………………………………………………………………………………………………..
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan dan siswa mengungkapkan gagasan secara eksplisit, memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa. Pendekatan ini mendorong siswa dapat berpikir kreatif, imajinatif, refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat. Mencoba gagasan baru, mendorong siswa untuk memperoleh kepercayaan diri. Dengan demikian pendekatan konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
Problematika yang dapat ditemukan dalam implementasi pendekatan kontruktivisme adalah siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri tidak jarang menyebabkan miskonsepsi. Selain itu, konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini seringkali membutuhkan waktu yang lama di samping penanganan siswa secara individual yang berbeda-beda.

Contoh Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Teori Belajar Konstruktivisme

Berikut ini adalah contoh pembelajaran menentukan rata-rata hitung. Langkah-langkah pembelajarannya:
  1. Meminta siswa menuliskan 5 nilai matematika terakhir dalam bentuk tabel
  2. Siswa mengisi 5 gelas plastik dengan kelereng sesuai dengan nilai matematika yang mereka peroleh. Sebagai contoh:
  3. Pindahkan kelereng dari gelas yang satu ke gelas yang lain sehingga masing-masing gelas memiliki jumlah kelereng yang sama
  4. Pertanyaan untuk siswa:
  • Berapa banyak kelereng dalam masing-masing gelas?
  • Dari 5 nilai harian, rata-rata nilai harian matematikamu adalah jumlah kelereng yang ada di dalam gelas yang mempunyai jumlah yang sama.
  • Anggap guru kalian memberikan nilai harian terbaru dan nilaimu adalah 8. Berapa banyak kelereng yang ada dalam masing-masing gelas?
Dengan pendekatan seperti di atas, pada akhirnya anak dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui aktivitas yang dilakukan. Dengan kata lain, tanpa mereka diajar secara paksa, anak akan memahami sendiri apa yang mereka lakukan dan pelajari melalui pengalamannya.
Teori konstrukivisme merupakan teori belajar yang termasuk ke dalam teori belajar kognitif. Teori konstruktivisme mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh J. Piaget pada akhir abad ke-20. Menurut teori ini  pada dasarnya tiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan bukanlah hasil “pemberian” orang lain, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan akan tersusun atau terbangun di dalam pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada kerangka kognitif yang  sudah ada dalam pikirannya. Sebagaimana dikatakan Bodner : “….knowladge is constructed as the learner strives to erganize his or her experience in terms of preexisting mental structure”. Dengan demikian pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang guru ke otak siswanya. Seorang siswa harus membangun sendiri pengetahuan tersebut dalam otak masing-masing.Pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya akan diingat sementara.
Menurut J. Piaget proses mengkonstruksi pengetahuan oleh tiap individu dapat terjadi karena tiap individu memiliki struktur kognitif yang dinamakan skema. Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya anak senang bermain dengan kelinci dan kucing yang sama-sama berwarna putih, karena anak tersebut sering bermain dengan hewan peliharaannya tersebut ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kelinci berkaki dua sedangkan kucing berkaki empat.
Berkat pengalaman anak pada ilustrasi di atas, maka dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki dua dan berkaki empat. Semakin dewasa anak, maaka semakin sempurna skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema, dan akomodasi adalah proses merubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skema baru. Misalnya pada suatu hari anak merasa sakit karena terpercik api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk skema tentang api, bahwa api harus dihindari. Dengan demikian ketika melihat api,secara reflek ia akan menghindar. Semakin dewasa, pengalaman tentang api semakin bertambah. Ketika ia melihat ibunya memasak menggunakan api atau melihat ayahnya menyalakan rokok dengan api, maka skema awal tentang api yang telah terbentuk disempurnakan, bahwa api bukan harus dihindari tapi dimanfaatkan.
Pandangan J. Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan terbentuk dalam struktur kognitif individu, sangat berpengaruh terhadap paradigma proses pendidikan di sekolah, yaitu berkembangan metode pembelajaran yang tidak menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Secara rinci implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak   yang dikutip oleh Hamzah dari Poedjiadi (2006) adalah sebagai berikut :
1.        tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi
2.        kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari–hari dan
3.        peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitator dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi  pengetahuan pada diri peserta didik
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam metode pendekatan belajar konstruktivisme, Hanbury (1996:3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dalam pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkontruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai dan, (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Untuk meningkatkan keberhasilan siswa dalam belajar matematika dengan menggunakan metode pendekatan konstruktivisme adalah: (1)memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Menurut Cockcroft (1982) sebagaimana dikutip Fajar, pengajaran matematika harus melibatkan aktivitas-aktivitas:
1.        Eksposisi atau pemaparan guru (exposition)
2.        Diskusi di antara siswa sendiri ataupun antara siswa dengan guru (discussion)
3.        Kerja Praktek (practical work)
4.        Pemantapan dan latihan penerjaan soal (consolidation)
5.        Pemecahan masalah (problem solving)
6.        Penyelidikan (investigation)
                Dari beberapa uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah, disatu sisi merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kecerdasan peserta didik. Namun, di sisi lain terdapat pakar yang menilai bahwa pembelajaran matematika disekolah hanyalah merupakan kebutuhan yang bersifat pelengkap dari apa yang telah dikembangkan oleh para ilmuan dalam matematika. Sehingga orientasi pengajaran matematika cenderung sangat prosedural, secara gamblang seorang guru menyatakan bahwa selama ini mereka (para guru matematika) mengajarkan siswa-siswa menghafalkan rumus-rumus matematika itu sendiri. 
Sejalan dengan munculnya teori belajar konstruktivisme, dirasakan dapat memperbaiki kondisi tersebut, yaitu mengubah pendekatan yang sederhana dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa. Proses pembelajaran matematika yang harus dikembangkan guru dalam kurikulum pendidikan saat ini lebih menekankan pada upaya mengembangkan potensi dan kreativitas siswa secara optimal. Sebagaimana yang dirumuskan oleh National Council of Teacher of  Mathematics (NCTM) pada tahun 2000, bahwa siswa harus mempelajari matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.

Cara Mengajarkan Matematika Dengan Menggunakan Pendekatan 
     Konstruktivisme
                Pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme meliputi empat kegiatan, antara lain (1) berkaiatan dengan prior knowledge siswa artinya guru dapat melihat kemampuan siswa dalam belajar matematika, (2) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experiences) artinya belajar dengan pendekatan konstruktivisme dapat diambil dari pengalaman atau dalam kehidupan sehari-hari, (3) terjadi interaksi sosial (social interaction) maksudnya pembelajaran matematika dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making) maksudnya pembelajaran dapat membentuk sifat saling kerja sama.
                Proses pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme sebagai berikut: (1) siapkan benda–benda nyata untuk digunakan oleh para siswa, (2) pilihlah pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak, (3) perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik serta beri kebebasan anak untuk menolak saran guru, (4) tekankan penciptaan pertanyaan dan masalah serta pemecahannya, (5) anjurkan siswa untuk saling berinteraksi, (6) hindarilah istilah teknis dan tekankan berpikir, (7)dianjurkan mereka berpikir dengan cara sendiri, dan (8) perkenalkan kembali materi dan kegiatan yang sama setelah beberapa tahun lamanya. Dari proses pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme dapat memberikan suatu solusi dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh siswa (Dahar,1989:160).
                  Beberapa uraian di atas dapat memberi pandangan kepada guru agar dalam menerapkan prinsip belajar konstruktivisme, benar–benar harus memperhatikan kondisi lingkungan bagi anak. Disamping itu, pengertian tentang kesiapan anak untuk belajar, juga tidak boleh diabaikan. Dengan kata lain, bahwa faktor lingkungan sebagai suatu sarana interaksi bagi anak, bukanlah satu–satunya yang perlu mendapat perhatian yang sungguh–sungguh bagi guru.
    Secara umum, Pembelajaran matematika dengan metode pendekatan konstruktivisme meliputi empat tahap : (1) tahap persepsi (mengungkap konsepsi awal dan membangkitkan motivasi belajar siswa), siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering dijumpai sehari – hari oleh siswa dan mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep tersebut, (2) tahap eksplorasi siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian dan menginterprestasikan data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru. Secara keseluruhan pada tahap ini akan terpenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena dalam lingkungannya, (3) tahap diskusi dan penjelasan konsep siswa memikirkan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasi siswa, di tambah dengan penguatan guru. Selanjutnya, siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari, dan (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun melalui pemunculan masalah–masalah yang berkaitan dengan isu–isu dalam lingkungan siswa tersebut. (Horsley, 1990:59).
Hal-hal yang harus dilakukan oleh guru agar dapat mengajarkan matematika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan masalah matematika dengan caranya sendiri dengan kemampuan yang dimiliki dalam pikirannya, artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi, berbahasa matematik, dan mencari strateginya yang sesuai (berfikir alternatif). Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitasnya melakukan refleksi, interprestasi, dan internalisasi, rekonstruksi ini dimungkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi.
Suatu pendekatan atau metode dalam pembelajaran tidak akan pernah lepas dari keuntungan dan kelemahan, begitu pula dengan pendekatan konstruktivisme. Keuntungan pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivisme adalah :
a.        siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri sehingga siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya
b.       menciptakan suasana belajar yang menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika, siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap siswa ada nilai atas usahanya
c.        memupuk kerja sama dalam kelompok dan melatih siswa untuk terbiasa berpikir serta mengemukakan pendapat.
Sedangkan kelemahan pembelajaran matematika dengan pendekatan konstruktivime adalah :
a.        siswa sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan jawabannya sendiri
b.       membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah pemikirannya
c.        siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum menemukan jawaban.
Kelemahan suatu metode/pendekatan dalam pembelajaran tentu bukan suatu masalah yang besar bagi seorang guru yang profesional. Karena guru yang profesional tentu akan dapat mengeluarkan krativitasnya dalam rangka mengatasi kekurangan yang ada.

G. Contoh-contoh Pembelajaran Matematika SD Dengan Pendekatan
    Konstruktivisme.
Perhatikan dialog antara guru dan siswa dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Fitz Simons (1992) :
Guru                           : berapa 10 pangkat 3?
Siswa                          : 1000
Guru                           : dan 10 pangkat 2?
Siswa                          : 100
Guru                           : jadi 10 pangkat 1 menjadi berapa?
Siswa                          : 10
Siswa                          : berapa 10 pangkat 0? (siswa bertanya kepada guru )
Guru                           : mari kita cari berapa 10 pangkat 0?
                            kamu tahu bahwa pangkat 10 menurun satu persatu. Apa yang terjadi      jika 10 pangkat 0?           
Siswa                          :  satu
Guru                           :  berapa 10 pangkat -1?
Siswa                          :  0,1 atau 1/10

                Dari dialog guru dan siswa tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme guru mengajak siswa untuk mengemukakan pendapat, mencari solusi atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh guru sehingga siswa diharapkan dapat mengaplikasikan pemahaman dan mengkonstruksi sendiri tentang konsep bilangan pangkat n yaitu 10 pangkat 3 atau 103 = 1000 dimana nilai n = 3.Jadi 10n = …
                Berikut adalah sebuah contoh lain yang masih berhubungan dengan perpangkatan yang disajikan dalam bentuk ilustrasi/cerita:

(Seekor kakek bakteri sedang bercerita kepada cucu bakteri)
“cucuku sayang, dulu sekali pada waktu kakek datang ke sini, kakek masih sendirian tanpa teman ataupun sahabat”
“kapan itu, kek?”
“delapan jam yang lalu, cucuku”
“wah..sudah lama sekali ya, kek?”
“iya memang waktu begitu cepat berlalu, kakek lanjutkan ya ceritanya, kakek waktu pertama ke sini memang masih sendirian. Tapi, karena sudah kodrat alami kita  untuk dapat membelah diri menjadi dua tiap 1 jam, akhirnya setelah 1 jam kakek di sini, kakek langsung membelah diri. Nah, inilah keturunan kakek yang pertama sekaligus teman pertama bagi kakek. Satu jam berikutnya masing-masing dari kami membelah diri lagi menjadi dua, begitu seterusnya sampai saat ini.”
“hmm..kakek kan sudah delapan jam ada di sini, jadi keturunan kakek ada berapa ya?”
“waduh ada berapa ya, kakek tidak pernah menghitungnya. Kalau begitu mari kita hitung sama-sama. Supaya lebih mudah kita coba buat tabel ya”.

Jam ke-
Jumlah keturunan kakek
0
1
1
2
2
4
3
8
4
16
5
32
6
64
7
128
8
256

“Nah, cu, engkau bisa lihat sendiri, ternyata jumlah keturunan kakek sampai saat ini ada 256. Sekarang kakek ingin bertanya padamu, 3 jam lagi berapakah jumlah kita?” (Sang cucu menggaruk-garuk kepalanya)

Dari cerita di atas, guru bisa meminta siswa untuk membantu cucu bakteri mencari jawaban atas pertanyaan kakeknya. Selain itu guru dapat mengarahkan siswa untuk menemukan konsep perpangkatan dengan bilangan pokok 2.






BAB II
A.    Pengertian Teori Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Pendidikan behaviorisme merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret.
B.     Ciri dari Teori Belajar Behaviorisme
Ciri dari teori belajar behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini, berpendapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
C.    Keunggulan dan Kelemahan Teori Behaviorisme
a.       Keunggulan Teori Behaviorisme
1.      Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus
dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau pujian.
2.        Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi
belajar.
b.        Kelemahan Teori Behaviorisme
Kelemahan teori behaviorisme adalah sebagai berikut.
1.      Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher centered learning), bersifat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
2.        Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa (teori skinner) baik hukuman verbal maupun fisik seperti kata – kata kasar, ejekan ,  jeweran yang justru berakibat buruk pada siswa.

D.    Aplikasi teori behaviorisme 
Prinsip Umum Aplikasi Teori Behavirostik Dalam Pembelajaran
    Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus (S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespons secara positif. Apalagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). Oleh karena teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan (1997: 23), beberapa prinsip tersebut adalah: 
1.      Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu.
2.      Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons.
3.      Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respons, merupakan faktor penting dalam belajar. Respons akan semakin kuat apabila reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah.
Jika yang menjadi titik tekan dalam proses terjadinya belajar pada diri siswa adalah timbulnya hubungan antara stimulus dengan respons, di mana hal ini berkaitan dengan tingkah laku apa yang ditunjukkan oleh siswa, maka penting kiranya untuk memperhatikan hal-hal lainnya di bawah ini, agar guru dapat mendeteksi atau menyimpulkan bahwa proses pembelajaran itu telah berhasil. Hal yang dimaksud adalah sebagai berikut : 
1.      Guru hendaknya paham tentang jenis stimulus apa yang tepat untuk diberikan kepada siswa.
2.      Guru juga mengerti tentang jenis respons apa yang akan muncul pada diri siswa.
3.      Untuk mengetahui apakah respons yang ditunjukkan siswa ini benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan, maka guru harus mampu :
a.       Menetapkan bahwa respons itu dapat diamati (obserbable)
b.      Respons yang ditunjukkan oleh siswa dapat pula diukur (measurable)
c.       Respons yang diperlihatkan siswa hendaknya dapat dinyatakan secara eksplisit atau jelas kebermaknaannya (eksplisit)
d.      Agar respons itu dapat senantiasa terus terjadi atau setia dalam ingatan/tingkah laku siswa, maka diperlukan sekali adanya semacam hadiah (reward).
Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran (siswa menunjukkan tingkah laku / kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut :
1.      Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa Siswa sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap siswa juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses dan atau merespons sejumlah materi dalam pembelajaran. Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh guru jika melakasanakan analisis terhadap kemampuan dan karakteristik siswa, yaitu :
a.       Akan memperoleh gambaran yang lengkap dan terperinci tentang kemampuan awal para siswa, yang berfungsi sebagai prasyarat (prerequisite) bagi bahan baru yang akan disampaikan.
b.      Akan memperoleh gambaran tentang luas dan jenis pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa. Dengan berdasar pengalaman tersebut, guru dapat memberikan bahan yang lebih relevan dan memberi contoh serta ilustrasi yang tidak asing bagi siswa.
c.       Akan dapat mengetahui latar belakang sosio-kultural para siswa, termasuk latar belakang keluarga, latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.
d.      Akan dapat mengetahui tingkat pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik jasmaniah maupun rohaniah.
e.       Akan dapat mengetahui aspirasi dan kebutuhan para siswa.
f.       Dapat mengetahui tingkat penguasaan bahasa siswa.
g.      Dapat mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang telah
diperoleh siswa sebelumnya.
h.      Dapat mengetahui sikap dan nilai yang menjiwai pribadi para siswa
(Oemar Hamalik, 2002 : 38 -40)
2.      Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya.
Sebagian siswa ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua pendekatan yaitu:
a.       Siswa menyesuaikan diri dengan materi yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan (dalam hal ini tes dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran).
b.      materi  pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa (Atwi Suparman, 1997:108). Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan keadaan siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului dengan   mengadakan tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari prerequisite  test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu : siswa dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni:
·         sudah cukup paham dan mengerti, serta
·         belum paham dan mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa dikelompokkan     menjadi dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang belajar harus dipisah.
Hal seperti ini tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi pada penyediaan perangkat pembelajaran yang lebih memadai, di samping memerlukan dana (budget) yang lebih besar. Cara lain yang dapat dilakukan adalah, atas dasar hasil analisis kemampuan awal siswa dimaksud, guru dapat menganalisis tingkat persentasi penguasaan materi pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui adalah bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah banyak yang paham dan mengerti, dan pada sebagian pokok materi pembalajaran yang lain sebagian besar siswa belum atau tidak mengerti dan paham.
    Rencana strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru terhadap kondisi materi pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya, materi ini bisa dilakukan pembelajaran dalam bentuk ko-kurikuler (siswa diminta untuk menelaah dan membahas di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu diminta melaporkan hasil diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan terhadap sebagian besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum diketahui oleh siswa, pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara penuh di dalam kelas.
    Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah :
1.      Mengidentifikasi tujuan pembelajaran.
2.      Melakukan analisis pembelajaran
3.      Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajaran.
4.      Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar.
5.      Mengembangkan bahan ajar (pokok bahasan, topik, dll)
6.      Mengembangkan strategi pembelajaran (kegiatan, metode, media dan waktu)
7.      Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya)
8.      Mengamati dan menganalisis respons pembelajaran
9.      Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif.
10.  Merevisi kegiatan pembelajaran (Mukminan, 1997: 27).

E.     Analisis Metode terhadap Aplikasi Teori Behaviorisme
Dari segi bahasa Arab, metode berarti prosedur, proach/pendekatan.
Metode apa pun yang digunakan oleh pendidik/guru dalam proses pembelajaran, yang perlu diperhatikan adalah akomodasi menyeluruh terhadap prinsip-prinsip KBM. 
    Pertama, berpusat pada anak didik (student oriented). Guru harus memandang anak didik sebagai sesuatu yang unik, tidak ada dua orang anak didik yang sama, sekalipun mereka kembar. Satu kesalahan jika guru memerlakukan mereka secara sama. Gaya belajar (learning style) anak didik harus diperhatikan.
    Kedua, belajar dengan melakukan (learning by doing). Supaya proses belajar itu menyenangkan, guru harus menyediakan kesempatan kepada anak didik untuk melakukan apa yang dipelajarinya, sehingga ia memperloleh pengalaman nyata.
    Ketiga, mengembangkan kemampuan sosial. Proses pembelajaran dan pendidikan selain sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan, juga sebagai sarana untuk berinteraksi sosial (learning to live together).
    Keempat, mengembangkan keingintahuan dan imajinasi. Proses pembelajaran dan pengetahuan harus dapat memancing rasa ingi tahu anak didik. Juga mampu memompa daya imajinatif anak didik ungtuk berpikir kritis dan kreatif.
    Kelima, mengembangkan kreativitas dan keterampilan memecahkan masalah. Proses pembelajaran dan pendidikan ang dilakukan oleh guru bagaimana merangsang kreativitas dan daya imajinasi anak untuk menemukan jawaban terhadap setiap masalah yang dihadapi anak didik.
    Berikut ini beberapa metode yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran. 
Metode ceramah, Metode tanya jawab, Metode tulisan, Metode diskusi, Metode pemecahan masalah (problem solving),  Metode kisah, Metode perumpamaan, Metode pemahaman dan penalaran (al-ma’fifah wa al-nazhariyah), Metode Perintah Berbuat Baik dan Saling Menasihati, Metode Suri Telada, Metode Hikmah dan Mau’izhah Hasana, Mitode Peringatan dan Pemberian Motivasi, Metode Praktik, Metode karya wisata, Pemberian Ampunan dan Bimbingan, Metode Kerja Sama, Metode Tadrij (Pentahapan).

F.     Analisis Media Terhadap Aplikasi Teori Behaviorisme
Media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’.
Sebelum kita menentukan suatu media, kiranya, kita harus mengatahui manfaat media itu sendiri. Media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Ada beberapa alasan, mengapa media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa. Alasan pertama berkenaan dengan manfaat media pengajaran dalam proses belajar. Salah-satunya, pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar. Alasan kedua, mengapa penggunaan media pengajaran dapat mempertinggi proses dan hasil pengajaran adalah berkenaan dengan taraf berpikir manusia mengikuti tahap perkembangan dimulai dari berpikir sederhana menuju ke berpikir kompleks.  Penggunaan media pengajaran erat kaitannya dengan tahapan berpikir tersebut. Sebab melalui media pengajaran hal-hal yang abstrak dapat dikongkretkan, dan hal-hal yang kompleks dapat disederhanakan. 
    Untuk itu guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pengajaran, yang meliputi (Hamalik, 1994:6):
    Pertama, media sebagai alat komunikasi guna lebih mengefektifkan roses belajar mengajar;
    Kedua, fungsi media dalam rangka mencapai tujuan pendidikan;
    Ketiga, seluk-beluk proses belajar; 
    Keempat, hubungan antara metode mengajar dan media pendidiakn;
    Kelima, nilai atau manfaat media pendidikan dalam pengajaran;
    Keenam, pemilihan dan penggunaan media pendidin;
    Ketujuh, berbagai jenis alat dan teknik media pendidikan;
    Kedelapan, media pendidikan dalam setiap mata pelajaran;
    Kesembilan, usaha inovasi dalam media pendidikan.
    
    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada khususnya. Gerlach & Ely (1971) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi sehingga membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini, guru, buku, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
    Untuk penggunaan media, memiliki batasan-batasan, di antaranya, sebagai berikut:
1.      Media pendidikan memiliki pegertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware (perangkat keras), yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didenga, atau diraba dengan pancaindra.
2.      Media pendidikan memiliki pengertian non-fisik yang dikenal sebagai software (perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang merupkan isi yang ingin disampaikan kepada siswa.
3.      Penekanan media pendidikan terdapat pada visual dan audio.
4.      Media pendidikan memiliki pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas.
5.      Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan siswa  dalam proses pembelajaran.
6.      Media pendidikan dapat digunakan secara massa (misalnya : radio, televisi), kelompok besar dan kelompok kecil (misalnya : film, slide, video, OHP), atau perorangan (misalnya : modul, komputer, radio tape/kaset, video recorder).
7.      Sikap, perbuatan, organisasi, strategi, dan manajemen yang berhubungan dengan penerapan suatu ilmu.


Sumber :










http://rachmee.wordpress.com/2008/04/23/pembelajaran-matematika-sd-dengan-pendekatan-konstruktivisme/