Rabu, 23 Juli 2014

nyawa di negeri ini


terhenyak saya membaca salah satu postingan teman di fb. isinya tentang surat dari Abdullah Al Ghaza yang Mengaku dari Gaza City-Jalur Gaza.
beliau begitu kagum dengan indonesia, ah semoga bayangan baik beliau tentang negeri ini benar2 akan menjadi kenyataaan
namun satu hal yang sedikit menggelitik pikiran saya, pertanyaan beliau mengenai bayi2 di indonesia
beliau heran dengan orang di negeri ini yang gemar membuang bayi atau mengaborsi. sedangkan bagi mereka, nyawa seorang bayi sangatlah berharga.
ah„ belum lagi jika beliau mendengar tentang kasus penghilangan nyawa seseorang karena hal yg sepele… barangkali, kekaguman beliau terhadap negeri ini merosot 90%..
sejenak saya berpikir, merenung, ya, memang begitu mudahnya nyawa melayang di negeri ini, mungkin hampir sama dengan di palestina, nyawa begitu mudah hilang dari jasad, namun berbeda, sungguh berbeda.
di sana, nyawa hilang karena berjuang, mempertahankan tanah islam, tapi di sini, miris sekali, tak sedikit nyawa hilang hanya karena masalah sepele. percintaan, hutang, putus asa misalnya.
nampak sekali, mental manusia di negeri ini sangat lemah.
dan nyawa manusia di negeri ini begitu murah.
bahkan seakan tak ada harganya. miris memang ketika mendengar bayi2 yang sangat sering ditemkan telah tidak bernyawa, atau remaja2 yang rela mengakhiri hidupnya, atau pembunuhan terhadap pacar, suami, atau istri.
ya miris
karena, seakan nyawa hanya ibarat barang loakan,
hingga timbul pertanyaan, mengapa mental kita begitu lemah?
karena kita M, manja. dengan segala fasilitas, kemudahan, keringanan, harta, tempat yang aman, sehingga, tak ada sama sekali mental pejuang,
tak terpikir bahwa hidup ini bukan sekedar untuk bernapas, makan, tidur saja.. tapi hidup ini tentang berjuang
mereka, di sana berjuang mempertahankan tanah islam, kita di sini seharusnya bisa berjuang melawan hawa nafsu, berjuang melawan lena akan kenikmatan dunia.
mungkin memang seharusnya begitu.
hingga tak ada lagi yang menganggap nyawa hanya bagai barang loakan,

tetangga dan palestina


terlalu jauh untuk membandingkan dengan anak2 dan remaja2 di palestina. saudara kita di sana tentu jauh… jauh.. sekali perbedaan mentalnya dengan saya di sini.
jangankan mereka, membandingkan dengan anak2 tetangga saja sudah cukup jauh.
4 orang anak itu, mentalnya sudah cukup terbanting akan tragedi2 yang terjadi selama hidup mereka. memaksa untuk menjadi tua sebelum waktunya. mungkin kisah ini tak lebih hebat dari anak yang merawat ayah atau ibunya yang sedang sakit, atau anak yang harus berjuang sendirian melawan kerasnya hidup. tentu mereka lebih hebat. tapi, saya hanya melihat mereka di tv, dan saya hanya bisa mendengar dan melihat dari jauh, tanpa bisa ikut arus kesedihan yang di alami. tapi tidak dengan kisah ini.
sebut saja ia I, anak tertua yang usiaanya baru mencapai 12 tahun. duduk di kelas dua smp. terbiasa ia menjadi ibu untuk adik2nya, dikala sang ibu pergi meninggalkan rumah tatkala bertengkar dengan sang ayah.
seringkali, karena ia anak tertua, masa bermainnya dihabiskan untuk membantu sang ibu, mulai dari mencuci, masak, menyapu dan pekerjaan rumah tangga lain.
ketika itu, sang ibu tengah berada di rumah sakit, akan melahirkan.
tinggal lah 4 anak itu di rumah, di tengah bulan ramadhan,
mereka bukan anak mental pengemis, sungguh, ketika kami ajak berbuka bersama di rumah, mereka tak beranjak.. lebih memilih untuk di rumah saja. begitu pun saat sahur, ketika kami masih sibuk menyiapkan masakan, mereka telah selesai mencuci piring sehabis makan.
tak ada tangisan, pertengkaran atau cekcok khas anak2, saling bahu membahu bekerja, tanpa ingin merepotkan yang dewasa.
yah, mental mereka telah terbentuk sejak lama.
menyadari bahwa jika terus berharap pada orang tua, mungkin tak akan menyentuh barang nasi sebutir.
ya, mental.
akan sangat berbeda dengan anak yang penuh limpahan kasih sayang orang tua, yang bisa bermanja2 di setiap saat.
akan berbeda ketika mereka menghadapi masalah, terlihat mana yang tegar, mana yang cengeng dan lari ke pelukan ibunya.

sinetron

fokus bukan pada sinetronnya..
layaknya sebuah karya manusia, tak mungkin luput dari segala khilaf dan kekurangan, tak bisa ia mencapai tahap sempurna.
tepat seperti sinetron2 yg lain, episodenya tetap banyak, mencapai ratusan. dan ceritanya melebar kemana2. tapi tentu bukan itu fokus tulisan ini.
bukan hendak menjugde, hanya sedikit meluapkan apa yg selama ini di rasakan
saya bukan penikmat sejati sinetron2 indonesia. bukan pula haters. netral saja. kalau bagus, ya ditonton, jika tidak, mending ganti chanel.
sejak kemunculannya di tahun 2006 kalau tidak salah, sinetron itu cukup mengundang rasa penasaran.
saya tetap setia menonton ceritanya hingga ramadhan berakhir. dan untungnya, sinetron itu juga selesai ditayangkan. dan tahun2 berikutnya, terus berlanjut penanyangan tapi hanya selama ramadhan.
tahun pertama, kedua, ketiga saya masih menjadi peminat, namun tidak setelah muncul acara2 mengundang gelak tawa di chanel lain. berhubung bukan saya yg mengusai remot tv, jadi, ya ikut saja apa yg di tonton orang rumah.
hingga pada tahun kedelapan, ada yg iseng mengganti chanel ke sinetron itu. dan saya baru menyadari suatu hal.
well, ini hanya pendapat pribadi, tentu tak bisa dijadikan acuan untuk menilai suatu karya.
sinetron tersebut tetap sarat makna. tapi tidak memaksa. saya menemukan palajaran yg diberikan secara alami, melalui tindak tanduk tokoh, cerita sampingan, dialog sederhana, yg jelas cukup mewakili kehidupan sehari2.
berbeda sekali dengan yg lain. mereka seakan menekankan untuk harus terdapat unsur dakwah di sana, namun tidak sesuai, kesan memaksa nampak sekali,. dan membuat ilfeel.
sayang sekali saya melewatkan jilid2 sebelumnya, yah, walau sekedar menjadi pembuka selera makan, setidaknya, tontonan tetap memberikan pelajaran dan makna tersendiri, bukannya sekedar tertawa2 sampai tersedak.
#ppt

perisa dakwah


tau kan bagaimana rasa makanan kalau bahannya gak asli alias di beri perisa.
gak sreg, di lidah. lha iya, wong palsu gitu kok.
lantas, apa hubungannya dengan perisa dakwah?menyikapi sinema2 yg tayang di bulan ramadhan, saya merasa gak dapet feelnya.
apa ya, seperti hanya sekedar unsur yg harus ada karena sinema tersebut tayang di bulan ramadhan. tiba2 setiap percakapan jadi muncul hadist, potongan ayat suci Al-Qur’an, sebenarnya bagus sih, hanya saja, kesannya maksa. karena makna yg seharusnya muncul tersirat, seiring dengan berjalannya kehidupan di sinema itu, kini muncul dengan cara terpaksa. sementara, isi sinemanya ya gitu2 aja.
tetap tak sepi dengan adegan percintaan, tokoh antagonis yg juahat banget (ini seperti kata teman saya), bahkan yg lebih membuat saya illfeel adalah peran wanita berhijab yg sama sekali tidak menunjukkan kalau dia sedang berhijab. seperti masih dua2an dengan lawan jenis, pacaran, dan lain sebagainya. well, hanya sinetron sih, tapi tetap saja, ini kan bulan ramadhan gitu loh.
bukan bermaksud menghujat, hanya saja, akan lebih baik kalau dakwah yg ingin di sampaikan  tidak menjadi unsur yg dipaksa hadir,
unsur dakwah mungkin akan lebih terasa ketika ia hadir seiring dengan berjalannya waktu di sinetron tersebut, melalui tingkah laku, dialog, monolog, yg biasa saja, tidak terlalu lebai dan maksa. mungkin begitu.
ditambah lagi acara2 mengundang gelak tawa, sebenarnya gak ngaruh juga jika ikut membawa ustad yg memberi taujih, sementara isi acara tersebut goyang2, buka2 aib, cinta2an, gurau yg melukai hati orang. taujihnya gak percuma, malah bagus, tapi kadangkala, karena waktu yg diberikan cuma seimprit, ya, mungkin cuma akan dianggap angin saja.
padahal cuma sebulan loh. kenapa harus di isi juga dengan acara yg merusak.
coba tahfiz qur’an tayang di semua chanel tv, setiap hari, setiap waktu. kan cuma sebulan toh. sayang hanya dua chanel yg menayangkan.
apalagi, saya bukan pemegang remote tv, jadi, ngikut aja apa yg ditonton orang2, atau, lebih milih masuk kamar .
semoga tahun depan tidak lagi seperti ini. atau paling tidak, jangan lebih parah dari ini.

kadar iman dan prasangka


dulu, bertahun2 lalu, mr saya pernah mengingatkan.
"jangan pernah menilai orang dari keadaannya sekarang. karena hati kita dibolak-balikan, iman kita naik turun. bisa jadi, esok lusa kita berada di posisi jahiliyah (na’udzubillah) atau dia berada di posisi yg sangat mulia"
ini terkait dengan kasus yg menimpa saudara kita. tidak, saya tidak berbicara tentang kasus itu, tapi, tentang prasangka kita.
kaget pasti, tapi, kira2 bermanfaatkah ketika kita ikut menyebarkan berita tersebut?
saya rasa tidak. malah mungkin bisa terhitung ghibah.
berprasangka baik saja. toh, ia juga manusia. tak akan luput dari khilaf dan dosa. nah.. kita ini, apa sudah merasa paling benar untuk menjadi penyebar aib saudara, astagfirullah, saya juga tak luput dari hal tersebut.
mungkin kekhilafannya bisa kita jadikan pelajaran, bukan malah jadi tranding topik di beranda.
semoga kita selalu dihindarkan dari ghibah dan fitnah.

Sabtu, 05 Juli 2014

golput

mungkin, yang golput tidak selamanya golput.
mereka memilih.
mereka punya pilihan.
pilihan untuk tidak memilih :v
setidaknya, yang golput karena tidak ingin mendatangkan mudharat lebih baik dari pada yang masuk ke bilik suara tapi merusak kertas suaranya.
saya rasa yang penting niat mereka,
niat saya juga. saya memilih karena itulah ikhtiar yang bisa saya lakukan.
jadi, mungkin jangan lagi memojokkan orang yang golput, silahkan diajak untuk ikut berpartisipasi, tapi jangan dikucilkan.