sampai saatnya pertanyaan "kenapa perjuangan dakwah itu pahit?" dan temukanlah jawaban "karena syurga Allah itu begitu manis," keep hamasah!! ^^
Minggu, 22 Juni 2014
Selasa, 10 Juni 2014
lapis-lapis keberkahan
dua gunung yang pertama; Akhsyabain julukannya.
Seperti sebutan itu pula wujudnya; dua yang kokoh, pejal, dan keras. Bagai mempelai pengantin, keduanya menjulang tinggi dengan gagah dilatari pelaminan langit. Cahaya mentaripun melipir ketika bayang-bayangnya jatuh di hamparan pasir. Dinding gunung-gunung ini cadas berrona merah, menyesak ke arah Thaif dan Makkah. Angin gurun yang sanggup menerbangkan kerikil, seakan tak mampu mengusiknya walau secuil.
Yang satu bernama Abu Qubais, sedang pasangannya Qa’aiqa’an.
Adalah malaikat penjaga kedua gunung ini suatu hari digamit Jibril menyapa seorang lelaki yang berjalan tertatih di Qarn Al Manazil. Bekas darah yang merahnya mulai menua dan lengket masih tampak di kakinya. Ada yang bening berbinar sendu di sudut matanya. Wajah itu tetap cahaya meski awan lelah dan kabut duka memayungi air mukanya. Jelas beban berat menggenangi jiwanya, tapi kita nanti akan tahu, yang tumpah ruah tetaplah cinta.
“Ya Rasulallah”, begitu kelak ‘Aisyah bertanya sembari bersandar mesra di bahu beliau dan menatap matanya penuh cinta, “Pernahkah kau alami hari yang lebih berat daripada ketika di Uhud?” Maka lelaki itu, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita, seperti diriwayatkan Imam Al Bukhari berikut ini.
“Aku mendatangi para pemimpin Thaif; ‘Abdu Yalail ibn ‘Amr, Mas’ud ibn ‘Amr, dan Hubaib ibn ‘Amr Ats Tsaqafy untuk mengajak mereka kepada Allah. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Tirai Ka’bah tersobek jika sampai Allah mengutus seorang Rasul’, yang berikutnya berucap, ‘Apakah Tuhanmu tak punya orang lain untuk diutus?’, dan yang terakhir berujar, ‘Aku tak mau bicara denganmu. Jika kau benar-benar Rasul, aku khawatir mendustakanmu. Jika kau bukan Rasul, maka tak layak bagiku bicara dengan seorang pendusta!’
Lalu setelah tiga hari aku menyusur tiap sudut Thaif, mengetuk berbagai pintu, dan menawarkan Islam pada siapapun yang kutemui, merekapun berramai-ramai mendustakan, mengusir, dan menyakitiku.
Akupun pergi dengan kegundahan dalam hati, hingga tiba di Qarn Ats Tsa’alib. Ketika kuangkat kepalaku, maka tampaklah Jibril memanggilku dengan suara yang memenuhi ufuk. ‘Sesungguhnya’, kata Jibril, ‘Rabbmu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus Malaikat penjaga gunung ini untuk kauperintahkan sesukamu.”
Lalu malaikat penjaga gunung menimpali, ‘Ya Rasulallah, ya Nabiyyallah, ya Habiballah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung Akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah ingkar, mendustakan, menista, mengusir, dan menyakitimu.’
“Tidak”, jawabku, “Sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘adzab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak-keturunan yang mengesakanNya dan tak menyekutukanNya dengan sesuatupun.”
Hidupnya yang penuh lika-liku dan luka tapi tanpa leka itu, terlalu panjang untuk memeriksa satu demi satu jawabannya. Tapi kita tahu; yang berat baginya bukan lemparan batu, bukan kala dia ruku’ lalu lehernya dijerat, bukan juga saat dia bersujud kemudian kepalanya diinjak dan punggungnya dituangi kotoran. Yang berat baginya bukan caci fitnah dan cela makian; bukan tuduhan gila, penyihir, atau dukun; bukan juga 3 tahun kefakiran dalam pemboikotan.
Yang berat bagi kekasih Allah itu adalah; kala wewenang membinasakan orang-orang yang menganiaya dirinya digenggamkan penuh-penuh. Yang berat bagi kesayangan Ar Rahman itu adalah; ketika dalam gemuruh sakit lahir dan batin, peluang pelampiasan dibentangkan baginya.
Terujilah jiwanya, terbuktilah cintanya, dan tertampaklah kemuliaannya. Dia menolak dengan harapan yang memuncak atas kebaikan yang masih kelak. Dia sebenarnya diizinkan, dihalalkan, dan diridhai untuk berkata “Ya”; lalu gemuruh runtuh gunung Akhsyabain yang menimpa musuh ‘menghibur’ hatinya.
Tapi keputusannya adalah “Tidak!” Dan harapannya adalah “Jikapun mereka ingkar, semoga keturunannya yang kelak akan beriman”. Keduanya telah jadi bukti bagi namanya, Muhammad, yang terpuji di langit dan bumi.
Ialah hujjah, bahwa dia ingin diutus sebagai pembawa kasih dan bukan penyebab ‘adzab; Allah bahkan menyatakan dirinyalah rahmat bagi semesta alam. Bahwa dia datang dengan kesediaan menanggung derita ummatnya, amat menginginkan kebaikan bagi mereka, serta lembut dan welas-asih. Bahwa dia berada di atas akhlaq yang agung; baik dalam akhlaq pada Rabbnya, akhlaq pada dirinya, juga pada sahabat maupun musuhnya. Jernih sekali Nabi menyebut hari terberat; ketika Jibril datang menawarkan pembinasaan musuh. Itulah saat kemuliaan dakwah memenangi batin yang gemuruh.
Adakah nilai hidup seindah pribadi ini, yang terpuji di langit dan bumi?
Ini entah sudah kali ke berapa, dan tiap kali dia menyelesaikan kerjanya, batu itu menggelinding kembali ke bawah dengan mudah. Lalu dia harus memulai dari awal; menyungkah batu itu menyusur tebing menuju puncak, terluka dan pedih, lelah dan perih, getir dan sedih; untuk kemudian sang batu bergegas turun, memintanya mengulang kembali kutukannya yang abadi.
Lelaki itu; Sisyphus namanya.
Selama berabad-abad dalam peradaban Barat, nama dan kisah ini menjadi lambang perjalanan hidup manusia yang nir-hasil dan tanpa makna. Lelah menyiksa sekaligus tak berguna. Harapan yang setapak-tapak sampai puncak lalu sekejap sirna. Sia-sia sekaligus mengerikan.
Tapi Albert Camus dalam esainya yang terbit di Perancis pada tahun 1942, Le Mythe de Sisyphe, menuliskan renungan yang membuat kita berkerenyit. “Kita harus membayangkan”, ujar Camus, “Bahwa Sisyphus berbahagia.” Lahirlah dari tangan Camus kemudian ‘absurdisme’, aliran filsafat dengan inti fahaman berupa sia-sianya pencarian makna, kesatuan dan kejelasan dalam menghadapi dunia yang tak terfahami, yang tanpa Tuhan dan kekekalan.
Kebahagiaan, bagi Camus, ada di dalam diri, berasal dari ketenangan, ketidakmelekatan, kebebasan dari segalanya, dan penerimaan akan yang absurd. Dunia dan penghidupan kita hari ini, kata Camus, sering lebih absurd dari apa yang dialami dan dikerjakan Sisyphus. Dan seperti juga Sisyphus, kita tak punya pilihan. Maka, pungkas Camus, jalani saja. Dan berbahagialah.
Tidakkah Camus terlalu memaksakan fahaman ini, mengajak kita untuk pura-pura berbahagia?
Camus mungkin terlewat untuk membaca sebuah anggitan lain tentang kisah Sisyphus. Dalam cerita ini, sang gunung merasa menjadi yang paling tersiksa. Maka iapun berkata, “Betapa bahagia menjadi Sisyphus yang berjalan-jalan antara kaki dan puncakku. Betapa bahagia menjadi batu yang punya Sisyphus untuk membantunya naik agar menggelinding dengan ceria. Bagaimana dengan aku yang diinjak-injak nista oleh mereka berdua?”
Tetapi sang batu juga merasa menjadi yang paling merana. “Betapa bahagia menjadi Sisyphus yang tubuhnya terlatih, kian kuat dan perkasa tiap kali mendorongku ke puncak sana. Betapa bahagia menjadi gunung yang berdiam anggun dalam rehatnya saat kami kepayahan mendakinya. Bagaimana dengan diriku yang dibawa ke atas hanya untuk terbanting kesakitan setiap waktu?”
Demikian pula Sisyphus merasa menjadi yang paling nestapa. “Betapa bahagia menjadi batu yang tiap saat harus kuhela, dan tiap jatuh harus kusangga. Betapa bahagia menjadi gunung yang besar dan perkasa, kakinya di bumi dan puncaknya di angkasa. Bagaimana dengan diriku yang tanpa jeda harus mendorong batu dan mendaki lerengnya?”
Dalam nanar mata yang tak menemukan bahagia; insan lain tampak lebih cerah. Dalam denging telinga yang tak menangkap bahagia; insan lain terdengar lebih ceria. Dalam gerisik hati yang tak merasa bahagia; insan lain terkilau lebih bercahaya. Maka penderitaan manusia berlipat berkuadrat saat ia membandingkan diri dengan sosok di sekitarnya. Seperti sang gunung, seperti sang batu, seperti Sisyphus.
Buku tak berharga ini disusun dengan kesadaran kecil, bahwa jika bahagia dijadikan tujuan, kita akan luput untuk menikmatinya di sepanjang perjalanan. Bahwa jika bahagia dijadikan cita, kita akan kehilangan ia sebagai rasa. Bahwa jika bahagia dijadikan tugas jiwa, kita akan melalaikan kewajiban sebagai hamba. Bahwa jika bahagia dijadikan tema utama kehidupan, kita bisa kehilangan ia setelah kematian.
Sebagai mukmin, kita lalu tahu, bahagia adalah kata yang tak cukup untuk mewakili segenap kebaikan. Di dunia, terlebih untuk akhirat. Oleh itulah, mari jeda sejenak dari membicarakan kebahagiaan.
Maka buku ini diberi tajuk ‘Lapis-lapis Keberkahan’.
Hidup kita seumpama bebuahan beraneka aroma, bentuk, warna, reraba, dan rasa, yang diiris-iris dan ditumpuk berlapis-lapis. Tiap irisan itu adalah karunia Allah, kemudianlah tumbuh dari benih yang kita tanam. Tiap irisan itu, punya wangi maupun anyirnya, teratur maupun acaknya, cerah maupun kelamnya, lembut maupun kasarnya, manis maupun pahitnya, masam maupun asinnya. Tapi kepastian dariNya dalam segala yang terindra itu adalah; semua mengandung gizi yang bermanfaat bagi ruh, akal, dan jasad kita.
Itulah berkah. Itulah lapis-lapis keberkahan.
Ia bukan nikmat atau musibahnya; melainkan syukur dan sabarnya. Ia bukan kaya atau miskinnya; melainkan shadaqah dan doanya. Ia bukan sakit atau sehatnya; melainkan dzikir dan tafakkurnya. Ia bukan sedikit atau banyaknya; melainkan ridha dan qana’ahnya. Ia bukan tinggi atau rendahnya; melainkan tazkiyah dan tawadhu’nya. Ia bukan kuat atau lemahnya; melainkan adab dan akhlaqnya. Ia bukan sempit atau lapangnya; melainkan zuhud dan wara’nya. Ia bukan sukar atau mudahnya; melainkan ‘amal dan jihadnya. Ia bukan berat atau ringannya; melainkan ikhlas dan tawakkalnya.
“Allahumma inni asyku ilaika dha’fa quwwati.. Wa qillata hiilati..”, lirihnya, “Ya Allah, hanya kepadaMu kuadukan lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya daya upayaku..”
Hanya pembukanya saja telah menakjubkan bagi kita. Dia mengadu hanya kepada Allah; itu tauhidnya, yakinnya, ridhanya, dan tawakkalnya, ikhlasnya. Dan yang dia adukan bukan penderitaannya ataupun kejahatan kaumnya, melainkan kelemahan diri dan kurangnya upaya. Inilah adabnya, akhlaqnya, cintanya.
Maka Adas si orang Ninawa yang mendatanginya untuk menyerahkan anggur semata, kembali dengan terlebih dahulu mencium ubun-ubun, tangan, dan kakinya. Sebab hanya dengan berbincang serta menatap senyumnya yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari salju, Adas merasa telah bertemu seorang manusia yang cintanya diambil dari Khaliqnya di langit tinggi, lalu tumpah ruah membanjiri makhluq di bumi.
Inilah kisah yang terjadi sebelum Jibril membawa Malaikat Akhsyabain menemuinya di Qarn Ats Tsa’alib atau Qarn Al Manazil.
Maka di lapis-lapis keberkahan, kita akan belajar dari Muhammad, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; sosok yang paling berkah. Belajar tentang hidup yang paling benar, paling berisi, paling bermakna, paling baik, paling indah, dan paling bermanfaat. Mungkin bukan hidup yang paling bahagia, melainkan hidup yang paling berkah. Berkah dengan segala aroma, bentuk, warna, reraba, dan rasa.
Di lapis-lapis keberkahan, kita tinggalkan Sisyphus yang dongeng dan nestapa, menuju Muhammad yang mulia dan nyata. Di lapis-lapis keberkahan, kita tinggalkan Sisyphus yang sia-sia dan menderita, menuju Muhammad yang mengilhami dan penuh guna. Di lapis-lapis keberkahan, kita biarkan Camus yang enggan memberi makna dan memaksakan rasa, menuju Muhammad yang penuh kerja bercahaya.
Selamat datang di lapis-lapis keberkahan. Selamat datang di hidup yang mengambil teladan dari seorang lelaki, yang namanya terpuji di langit dan bumi. Selamat datang di lapis-lapis keberkahan. Biarlah bahagia menjadi makmum bagi islam, iman, dan ihsan kita; membuntutinya hingga ke surga.
http://salimafillah.com/tiga-gunung-prolog-lapis-lapis-keberkahan-2/
Seperti sebutan itu pula wujudnya; dua yang kokoh, pejal, dan keras. Bagai mempelai pengantin, keduanya menjulang tinggi dengan gagah dilatari pelaminan langit. Cahaya mentaripun melipir ketika bayang-bayangnya jatuh di hamparan pasir. Dinding gunung-gunung ini cadas berrona merah, menyesak ke arah Thaif dan Makkah. Angin gurun yang sanggup menerbangkan kerikil, seakan tak mampu mengusiknya walau secuil.
Yang satu bernama Abu Qubais, sedang pasangannya Qa’aiqa’an.
Adalah malaikat penjaga kedua gunung ini suatu hari digamit Jibril menyapa seorang lelaki yang berjalan tertatih di Qarn Al Manazil. Bekas darah yang merahnya mulai menua dan lengket masih tampak di kakinya. Ada yang bening berbinar sendu di sudut matanya. Wajah itu tetap cahaya meski awan lelah dan kabut duka memayungi air mukanya. Jelas beban berat menggenangi jiwanya, tapi kita nanti akan tahu, yang tumpah ruah tetaplah cinta.
“Ya Rasulallah”, begitu kelak ‘Aisyah bertanya sembari bersandar mesra di bahu beliau dan menatap matanya penuh cinta, “Pernahkah kau alami hari yang lebih berat daripada ketika di Uhud?” Maka lelaki itu, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita, seperti diriwayatkan Imam Al Bukhari berikut ini.
“Aku mendatangi para pemimpin Thaif; ‘Abdu Yalail ibn ‘Amr, Mas’ud ibn ‘Amr, dan Hubaib ibn ‘Amr Ats Tsaqafy untuk mengajak mereka kepada Allah. Salah seorang di antara mereka berkata, ‘Tirai Ka’bah tersobek jika sampai Allah mengutus seorang Rasul’, yang berikutnya berucap, ‘Apakah Tuhanmu tak punya orang lain untuk diutus?’, dan yang terakhir berujar, ‘Aku tak mau bicara denganmu. Jika kau benar-benar Rasul, aku khawatir mendustakanmu. Jika kau bukan Rasul, maka tak layak bagiku bicara dengan seorang pendusta!’
Lalu setelah tiga hari aku menyusur tiap sudut Thaif, mengetuk berbagai pintu, dan menawarkan Islam pada siapapun yang kutemui, merekapun berramai-ramai mendustakan, mengusir, dan menyakitiku.
Akupun pergi dengan kegundahan dalam hati, hingga tiba di Qarn Ats Tsa’alib. Ketika kuangkat kepalaku, maka tampaklah Jibril memanggilku dengan suara yang memenuhi ufuk. ‘Sesungguhnya’, kata Jibril, ‘Rabbmu telah mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuat kaummu terhadapmu. Maka Dia mengutus Malaikat penjaga gunung ini untuk kauperintahkan sesukamu.”
Lalu malaikat penjaga gunung menimpali, ‘Ya Rasulallah, ya Nabiyyallah, ya Habiballah, perintahkanlah, maka aku akan membalikkan gunung Akhsyabain ini agar menimpa dan menghancurkan mereka yang telah ingkar, mendustakan, menista, mengusir, dan menyakitimu.’
“Tidak”, jawabku, “Sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘adzab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak-keturunan yang mengesakanNya dan tak menyekutukanNya dengan sesuatupun.”
***
Mari sejenak kembali ke pertanyaan ibunda kita, sang Khumairaa.
Apa yang berat bagi kekasih Allah ini melebihi hari Uhud ketika 3
cincin rantai besi menancap di pelipisnya, perangkap tajam mencocor
lututnya, dikabarkan terbunuh hingga cerai berai pengikutnya, kehilangan
Paman tercinta, dan 70 sahabat setianya jadi syuhada’?Hidupnya yang penuh lika-liku dan luka tapi tanpa leka itu, terlalu panjang untuk memeriksa satu demi satu jawabannya. Tapi kita tahu; yang berat baginya bukan lemparan batu, bukan kala dia ruku’ lalu lehernya dijerat, bukan juga saat dia bersujud kemudian kepalanya diinjak dan punggungnya dituangi kotoran. Yang berat baginya bukan caci fitnah dan cela makian; bukan tuduhan gila, penyihir, atau dukun; bukan juga 3 tahun kefakiran dalam pemboikotan.
Yang berat bagi kekasih Allah itu adalah; kala wewenang membinasakan orang-orang yang menganiaya dirinya digenggamkan penuh-penuh. Yang berat bagi kesayangan Ar Rahman itu adalah; ketika dalam gemuruh sakit lahir dan batin, peluang pelampiasan dibentangkan baginya.
Terujilah jiwanya, terbuktilah cintanya, dan tertampaklah kemuliaannya. Dia menolak dengan harapan yang memuncak atas kebaikan yang masih kelak. Dia sebenarnya diizinkan, dihalalkan, dan diridhai untuk berkata “Ya”; lalu gemuruh runtuh gunung Akhsyabain yang menimpa musuh ‘menghibur’ hatinya.
Tapi keputusannya adalah “Tidak!” Dan harapannya adalah “Jikapun mereka ingkar, semoga keturunannya yang kelak akan beriman”. Keduanya telah jadi bukti bagi namanya, Muhammad, yang terpuji di langit dan bumi.
Ialah hujjah, bahwa dia ingin diutus sebagai pembawa kasih dan bukan penyebab ‘adzab; Allah bahkan menyatakan dirinyalah rahmat bagi semesta alam. Bahwa dia datang dengan kesediaan menanggung derita ummatnya, amat menginginkan kebaikan bagi mereka, serta lembut dan welas-asih. Bahwa dia berada di atas akhlaq yang agung; baik dalam akhlaq pada Rabbnya, akhlaq pada dirinya, juga pada sahabat maupun musuhnya. Jernih sekali Nabi menyebut hari terberat; ketika Jibril datang menawarkan pembinasaan musuh. Itulah saat kemuliaan dakwah memenangi batin yang gemuruh.
Adakah nilai hidup seindah pribadi ini, yang terpuji di langit dan bumi?
***
Sementara itu, gunung yang ketiga berasal dari Yunani.Di satu bagian dunia orang mati, begitu ditulis oleh Homerus dalam Illiad & Odissey, menjulang juga sebuah gunung yang tinggi. Di lerengnya yang terjal dan curam, berbatu dan penuh kerikil tajam, berliku dan kelam, mudah longsor dan seram; seorang lelaki berotot kuat, berkulit liat, bermandi keringat, dengan mata membeliak dan kaki terhentak-hentak menghela sebuah batu raksasa, mendorongnya ke puncak yang runcing menusuk langit.
Ini entah sudah kali ke berapa, dan tiap kali dia menyelesaikan kerjanya, batu itu menggelinding kembali ke bawah dengan mudah. Lalu dia harus memulai dari awal; menyungkah batu itu menyusur tebing menuju puncak, terluka dan pedih, lelah dan perih, getir dan sedih; untuk kemudian sang batu bergegas turun, memintanya mengulang kembali kutukannya yang abadi.
Lelaki itu; Sisyphus namanya.
Selama berabad-abad dalam peradaban Barat, nama dan kisah ini menjadi lambang perjalanan hidup manusia yang nir-hasil dan tanpa makna. Lelah menyiksa sekaligus tak berguna. Harapan yang setapak-tapak sampai puncak lalu sekejap sirna. Sia-sia sekaligus mengerikan.
Tapi Albert Camus dalam esainya yang terbit di Perancis pada tahun 1942, Le Mythe de Sisyphe, menuliskan renungan yang membuat kita berkerenyit. “Kita harus membayangkan”, ujar Camus, “Bahwa Sisyphus berbahagia.” Lahirlah dari tangan Camus kemudian ‘absurdisme’, aliran filsafat dengan inti fahaman berupa sia-sianya pencarian makna, kesatuan dan kejelasan dalam menghadapi dunia yang tak terfahami, yang tanpa Tuhan dan kekekalan.
Kebahagiaan, bagi Camus, ada di dalam diri, berasal dari ketenangan, ketidakmelekatan, kebebasan dari segalanya, dan penerimaan akan yang absurd. Dunia dan penghidupan kita hari ini, kata Camus, sering lebih absurd dari apa yang dialami dan dikerjakan Sisyphus. Dan seperti juga Sisyphus, kita tak punya pilihan. Maka, pungkas Camus, jalani saja. Dan berbahagialah.
Tidakkah Camus terlalu memaksakan fahaman ini, mengajak kita untuk pura-pura berbahagia?
Camus mungkin terlewat untuk membaca sebuah anggitan lain tentang kisah Sisyphus. Dalam cerita ini, sang gunung merasa menjadi yang paling tersiksa. Maka iapun berkata, “Betapa bahagia menjadi Sisyphus yang berjalan-jalan antara kaki dan puncakku. Betapa bahagia menjadi batu yang punya Sisyphus untuk membantunya naik agar menggelinding dengan ceria. Bagaimana dengan aku yang diinjak-injak nista oleh mereka berdua?”
Tetapi sang batu juga merasa menjadi yang paling merana. “Betapa bahagia menjadi Sisyphus yang tubuhnya terlatih, kian kuat dan perkasa tiap kali mendorongku ke puncak sana. Betapa bahagia menjadi gunung yang berdiam anggun dalam rehatnya saat kami kepayahan mendakinya. Bagaimana dengan diriku yang dibawa ke atas hanya untuk terbanting kesakitan setiap waktu?”
Demikian pula Sisyphus merasa menjadi yang paling nestapa. “Betapa bahagia menjadi batu yang tiap saat harus kuhela, dan tiap jatuh harus kusangga. Betapa bahagia menjadi gunung yang besar dan perkasa, kakinya di bumi dan puncaknya di angkasa. Bagaimana dengan diriku yang tanpa jeda harus mendorong batu dan mendaki lerengnya?”
***
Bahagia. Inilah kata paling menyihir dalam hidup manusia.
Tak satu jiwapun kecuali merinduinya. Tak satu akalpun kecuali
mengharapinya. Tak satu ragapun kecuali mengejarnya. Tapi kebahagiaan
adalah goda yang tega. Ia seakan bayang-bayang yang kian difikir makin
melipir, kian dicari makin lari, kian diburu makin tak tentu, kian
ditangkap makin melesat, kian dihadang makin hilang.Dalam nanar mata yang tak menemukan bahagia; insan lain tampak lebih cerah. Dalam denging telinga yang tak menangkap bahagia; insan lain terdengar lebih ceria. Dalam gerisik hati yang tak merasa bahagia; insan lain terkilau lebih bercahaya. Maka penderitaan manusia berlipat berkuadrat saat ia membandingkan diri dengan sosok di sekitarnya. Seperti sang gunung, seperti sang batu, seperti Sisyphus.
Buku tak berharga ini disusun dengan kesadaran kecil, bahwa jika bahagia dijadikan tujuan, kita akan luput untuk menikmatinya di sepanjang perjalanan. Bahwa jika bahagia dijadikan cita, kita akan kehilangan ia sebagai rasa. Bahwa jika bahagia dijadikan tugas jiwa, kita akan melalaikan kewajiban sebagai hamba. Bahwa jika bahagia dijadikan tema utama kehidupan, kita bisa kehilangan ia setelah kematian.
Sebagai mukmin, kita lalu tahu, bahagia adalah kata yang tak cukup untuk mewakili segenap kebaikan. Di dunia, terlebih untuk akhirat. Oleh itulah, mari jeda sejenak dari membicarakan kebahagiaan.
Maka buku ini diberi tajuk ‘Lapis-lapis Keberkahan’.
Hidup kita seumpama bebuahan beraneka aroma, bentuk, warna, reraba, dan rasa, yang diiris-iris dan ditumpuk berlapis-lapis. Tiap irisan itu adalah karunia Allah, kemudianlah tumbuh dari benih yang kita tanam. Tiap irisan itu, punya wangi maupun anyirnya, teratur maupun acaknya, cerah maupun kelamnya, lembut maupun kasarnya, manis maupun pahitnya, masam maupun asinnya. Tapi kepastian dariNya dalam segala yang terindra itu adalah; semua mengandung gizi yang bermanfaat bagi ruh, akal, dan jasad kita.
Itulah berkah. Itulah lapis-lapis keberkahan.
Ia bukan nikmat atau musibahnya; melainkan syukur dan sabarnya. Ia bukan kaya atau miskinnya; melainkan shadaqah dan doanya. Ia bukan sakit atau sehatnya; melainkan dzikir dan tafakkurnya. Ia bukan sedikit atau banyaknya; melainkan ridha dan qana’ahnya. Ia bukan tinggi atau rendahnya; melainkan tazkiyah dan tawadhu’nya. Ia bukan kuat atau lemahnya; melainkan adab dan akhlaqnya. Ia bukan sempit atau lapangnya; melainkan zuhud dan wara’nya. Ia bukan sukar atau mudahnya; melainkan ‘amal dan jihadnya. Ia bukan berat atau ringannya; melainkan ikhlas dan tawakkalnya.
***
Di sudut kebun anggur milik ‘Utbah dan Syaibah ibn Rabi’ah, sosok
tegap itu terduduk dan tunduk. Rambut indahnya yang sepapak daun telinga
diliputi debu yang lengket oleh peluh. Keringat dan air mata yang
menyatu di ujung hidung nan mancung seakan membias terik jadi pelangi.
Urat biru di antara kedua alis tebalnya yang bertaut kini marun merona.
Lengannya yang kokoh terangkat, bersama mata indahnya yang bening dan
bagai bercelak menghadap ke langit. Doanya sangat permata.“Allahumma inni asyku ilaika dha’fa quwwati.. Wa qillata hiilati..”, lirihnya, “Ya Allah, hanya kepadaMu kuadukan lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya daya upayaku..”
Hanya pembukanya saja telah menakjubkan bagi kita. Dia mengadu hanya kepada Allah; itu tauhidnya, yakinnya, ridhanya, dan tawakkalnya, ikhlasnya. Dan yang dia adukan bukan penderitaannya ataupun kejahatan kaumnya, melainkan kelemahan diri dan kurangnya upaya. Inilah adabnya, akhlaqnya, cintanya.
Maka Adas si orang Ninawa yang mendatanginya untuk menyerahkan anggur semata, kembali dengan terlebih dahulu mencium ubun-ubun, tangan, dan kakinya. Sebab hanya dengan berbincang serta menatap senyumnya yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari salju, Adas merasa telah bertemu seorang manusia yang cintanya diambil dari Khaliqnya di langit tinggi, lalu tumpah ruah membanjiri makhluq di bumi.
Inilah kisah yang terjadi sebelum Jibril membawa Malaikat Akhsyabain menemuinya di Qarn Ats Tsa’alib atau Qarn Al Manazil.
Maka di lapis-lapis keberkahan, kita akan belajar dari Muhammad, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; sosok yang paling berkah. Belajar tentang hidup yang paling benar, paling berisi, paling bermakna, paling baik, paling indah, dan paling bermanfaat. Mungkin bukan hidup yang paling bahagia, melainkan hidup yang paling berkah. Berkah dengan segala aroma, bentuk, warna, reraba, dan rasa.
Di lapis-lapis keberkahan, kita tinggalkan Sisyphus yang dongeng dan nestapa, menuju Muhammad yang mulia dan nyata. Di lapis-lapis keberkahan, kita tinggalkan Sisyphus yang sia-sia dan menderita, menuju Muhammad yang mengilhami dan penuh guna. Di lapis-lapis keberkahan, kita biarkan Camus yang enggan memberi makna dan memaksakan rasa, menuju Muhammad yang penuh kerja bercahaya.
Selamat datang di lapis-lapis keberkahan. Selamat datang di hidup yang mengambil teladan dari seorang lelaki, yang namanya terpuji di langit dan bumi. Selamat datang di lapis-lapis keberkahan. Biarlah bahagia menjadi makmum bagi islam, iman, dan ihsan kita; membuntutinya hingga ke surga.
http://salimafillah.com/tiga-gunung-prolog-lapis-lapis-keberkahan-2/
Minggu, 08 Juni 2014
Rumah Kosong yang Berpenghuni.
kukun mulai risih dengan orang yang dari tadi terus lalu lalang. masuknya gak pake permisi lagi, hey ini kan rumah gue! begitu teriak kukun, tapi gak satu pun yang peduli dengannya.
gak masalah sih, kukun senang sekali jika ada yang bertamu begitu, tapi, mbok ya permisi dulu kek.
"hih, kenapa sih pada masuk rumah gue, hey, halooo„ gak denger ya,"
saking kesalnya, kukun pergi ke luar dan membanting pintu.
tak urung, orang-orang yang merecoki rumah kukun pun kaget bukan kepalang.
kukun duduk merenung di taman, memandangi bulan yang bersinar cerah, namun tak secerah hatinya.
dulu, tenang sekali, ia hidup damai, tanpa ada yang mengganggu. tapi, semuanya berubah saat.. ah, kok jadi kayak avatar sih
"orang-orang itu, masuk gak permisi, ngendap2 pula, bawa kamera segala, memangnya gue artis," sungut kukun
"kenapa kun,"
suara tegas nan garang tiba-tiba menyapa kukun.
"ah, lu wo, bikin kaget saja,"
"pasti lo lagi mikirin orang yang suka masuk ke rumah2 kita, iya kan?"
"kok tau, iya nih,"
"gue juga keles, gue heran aja, padahal, kita gak gangguin hidup mereka,"
uwo mulai melow, ah, cowok kok mewek sih, kukun tak bisa menjawab apa-apa, wong dia aja bingung. kini mereka berdua hanya menatap rembulan, yang sebagian telah tertutup awan.
menanti jawaban, kapan semua tingkah gila orang-orang rese’ itu akan berakhir?
sarjana rumah tangga
ibu tidak pernah suka jika anak-anaknya bangun siang2, kecuali ketika umur kami masih balita. ini berlaku ketika sudah masuk ke jenjang pendidikan.
dulu, ketika saya, atau kakak bangunnya siang, muka ibu langsung cemberut. awalnya sih tidak paham kenapa, tapi lama2 maklum juga.
kami (karena cewek) sudah diajarkan untuk menyentuh dapur sejak SD, nggak tau deh kakak sejak kapan, kalau saya sih sejak kelas 3 SD. ingat sekali dulu pertama kali yang harus saya lakukan setiap yang lain akan memasak adalah menghidupkan kompor. hanya itu tugas saya. simpel, tapi, berkesan. karena dulu kompornya pake kompor minyak ya.
kemudian berikut2nya saya mulai belajar memotong bawang, memotong sayur, memasak nasi, mencuci, mencuci piring, menyapu, mengepel.,
dan semua dipelajari saat SD.
ibu saya selalu bilang begini, waktu diawal2 mengajari kami.
'kan bukan kalian yang memegang nyawa ibu dan bapak, kalau sewaktu2 kami tidak ada, dan kalian gak tau apa2, memangnya ada orang yang mau merawat kalian?'
kata2 itu menyakitkan, tapi ada benarnya. sehingga memotivasi kami untuk belajar bekerja lebih giat.
saat umur saya menginjak belasan tahun, masak-memasak pun sudah menjadi rutinitas, tidak hanya sekedar menghidupkan kompor, tapi lebih kompleks lagi, belajar rempah-rempah, teknik memasak, dan lain-lain. walaupun bukan masakan yang sangat mewah, atau yang cita rasanya tinggi, tapi setidaknya sudah memenuhi kriteria untuk dimakan oleh manusia.
ketika sma, dan kakak kuliah, peringatan ibu sudah lain lagi.
begini: ‘bagaimana kalau dapat mertua yang begitu.. begini, atau dapat suami yang betu begini, ‘
sehingga, waktu-waktu itu adalah persiapan untuk menjadi istri dan menantu yang baik. ibu takut sekali kami ketika menikah nanti malah di asingkan karena tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
pun sekarang begitu, masih banyak sekali hal2 yang harus dipelajari. walaupun persiapannya sejak SD.
kerja saya belum rapi, belum sepenuhnya bersih, masih ceroboh, pelupa, dan lain-lain..
hem, kira-kira, waktu yang tersisa (insya Allah, dari target saya) adalah 4-5 tahun lagi, cukupkah? entahlah, yang pasti memang harus lebih giat lagi belajar untuk menjadi sarjanaa rumah tangga :)
Senin, 02 Juni 2014
hati
ia benda yang bisa sangat rapuh, namun juga bisa sekuat baja.
banyak sekali virus yang siap menyerangnya, namun sebenarnya ada benteng yang mampu menjadi pertahanan.
ia mudah sakit, tapi tidak jika terus diberi vaksin.
ia bisa mati, jika terus dibiarkan sakit.
ia bisa jerawatan, jika banyak kotoran yang menempel.
ia adalah hati
.
bentengnya iman, obat penyembuhnya taubat
banyak sekali virus yang siap menyerangnya, namun sebenarnya ada benteng yang mampu menjadi pertahanan.
ia mudah sakit, tapi tidak jika terus diberi vaksin.
ia bisa mati, jika terus dibiarkan sakit.
ia bisa jerawatan, jika banyak kotoran yang menempel.
ia adalah hati
.
bentengnya iman, obat penyembuhnya taubat
instrumen non tes
TUGAS MANDIRI
EVALUASI PROSES DAN HASIL BELAJAR
DISUSUN OLEH :
NURHAZIZAH
(F04112038)
KELAS : B
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kegiatan mengukur, menilai, dan
mengevaluasi sangatlah penting dalam dunia pendidikan. Hal ini tidak terlepas
karena kegiatan tersebut merupakan suatu siklus yang dibutuhkan untuk
mengetahui sejauhmana pencapaian pendidikan telah terlaksana. Contohnya dalam
evaluasi penilaian hasil belajar siswa, kegiatan pengukuran dan penilaian
merupakan langkah awal dalam proses evaluasi tersebut. Kegiatan pengukuran yang
dilakukan biasanya dituangkan dalam berbagai bentuk tes dan hal ini yang paling
banyak digunakan. Namun, tes bukanlah satu-satunya alat dalam proses
pengukuran, penilaian, dan evaluasi pendidikan sebab masih ada teknik lain
yakni teknik “NON TES”.
Teknik non tes biasanya dilakukan
dengan cara wawancara, pengamatan secara sistematis, menyebarkan angket, ataupun
menilai/mengamati dokumen-dokumen yang ada (Sudijono : 2009). Pada evaluasi
penilaian hasil belajar, teknik ini biasanya digunakan untuk mengukur pada
ranah afektif dan psikomotorik, sedangkan teknik tes digunakan untuk mengukur
pada ranah kognitif.
https://navelmangelep.wordpress.com/tag/jenis-jenis-instrumen-non-tes/.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang pengertian instrumen non test ?
b.
Apa jenis-jenis
dari instrumen non test ?
c.
Bagaimana contoh pengambilan
instrumen non test ?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas evaluasi proses dan hasil
belajar matematika. Agar dapat mengetahui apa pengertian, jenis, dan
pengambilan instrument non test.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Instrument Non-tes
Teknik
penilaian non tes berarti tehnik penilaian dengan tidak menggunakan tes. Tehnik
penilaian ini umumnya untuk menilai kepribadian anak secara menyeluruh meliputi
sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan, riwayat hidup dan lain-lain.
Yang berhubungan dengan kegiatan belajar dalam pendidikan, baik secara individu
maupun secara kelompok. Alat penilaian non-test, yang biasanya menyertai atau
inheren dalam pelaksanaan proses belajar mengajar sangat banyak macamnya. Di
antaranya bisa disebutkan adalah angket (kuesioner), observasi, wawancara,
sosiometri, checklist, concept map, portfolio, student journal,
pertanyaan-pertanyaan, dan sebagainya. Keberhasilan siswa dalam proses
belajar-mengajar tidak dapat diukur dengan alat tes. Sebab masih banyak aspek-aspek
kemampuan siswa yang sulit diukur secara kuantitatif dan mencakup objektifitas
misalnya aspek efektif psikomotor.
http://p4mriunismuh.wordpress.com/2011/08/16/instrument-non-tes-1/
B.
Jenis-jenis Instrument Non-tes
LEMBAR PEDOMAN OBSERVASI
Hari/Tanggal
: ……
Tempat/lokasi
: ……
Waktu
: ……
No
|
Objek
yang Diamati
|
Skor
|
Keterangan
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
1.
|
lebih aktif bertanya di dalam
kelas
|
|||||
2.
|
lebih cepat dalam mengerjakan
tugas yang diberikan guru
|
|||||
3.
|
lebih mudah memahami materi yang
di berikan guru
|
|||||
4.
|
lebih cepat merespon pertanyaan
dari guru
|
|||||
5.
|
Nilai-nilainya
selalu bagus
|
Keterangan :
Skor 4 : Jika lebih ≥ 85 % siswa yang
ikut bimbingan belajar memenuhi
Skor 3 : Jika 50% ≤ X < 85% siswa yang
ikut bimbingan belajar memenuhi
Skor 2 : jika 25 % ≤ X
<50% siswa yang ikut bimbingan belajar memenuhi
Skor 1 : Jika < 25 % siswa yang ikut
bimbingan belajar memenuhi
2.
Wawancara
CONTOH LEMBAR WAWANCARA
No
|
Pertanyaan
|
Uraian / Jawaban
|
Kesimpulan
|
1.
|
Apakah anda sering merasa belajar di kelas kurang
efektif?
|
|
|
2.
|
Apakah anda merasa perlu untuk belajar di luar
sekolah?
|
||
3.
|
Anda lebih memilih bimbel atau privat?
|
||
4.
|
Apakah anda merasa tidak bisa mengikuti pelajaran
di sekolah tanpa bimbel?
|
||
5.
|
Apakah anda dapat merasakan pengaruhnya terhadap
prestasi belajar anda?
|
|
|
6
|
Bagaimana nilai-nilai anda ketika di sekolah?
|
|
|
7
|
Bagaimana menurut anda Jika sekolah mengadakan
bimbel untuk murid-muridnya?
|
|
|
8
|
Menurut anda, perlukah semua teman anda mengikuti
bimbel?
|
|
|
3. CONTOH LEMBAR ANGKET DALAM
BENTUK SKALA LIKERT
Contoh
Angket siswa
tentang bimbingan belajar
Nama:
Kelas:
Petunjuk
:
·
Pada angket ini terdapat 5 pernyataan.
Pertimbangkan baik-baik setiap pernyataan dalam kaitannya dengan materi
pembelajaran yang baru selesai kamu pelajari, dan tentukan kebenaranya.
·
Berilah tanda (√) pada jawaban yang
sesuai dengan pilihanmu.
·
Pertimbangkan setiap pernyataan secara
terpisah dan tentukan kebenarannya. Jawabanmu jangan dipengaruhi oleh jawaban
terhadap pernyataan lain.
·
Catat responmu pada lembar jawaban yang
tersedia.
Keterangan
pilihan jawaban :
1.
Sangat tidak setuju
2.
Tidak setuju
3.
Ragu-ragu
4.
Setuju
5.
Sangat setuju
No.
|
Pertanyaan
|
Pilihan Jawaban
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|||
1.
|
Saya merasa belajar di kelas kurang
efektif karena banyaknya siswa
|
||||||
2.
|
Saya lebih aktif di kelas setelah
sebelumnya mendapat materi di bimbel
|
||||||
3.
|
Saya berpendapat bahwa bimbel dapat
membantu meningkatkan prestasi saya
|
||||||
4.
|
Nilai-nilai saya nak
setelah mengikuti bimbel
|
||||||
5.
|
Saya ingin sekolah juga mengadakan
bimbel bagi murid-muridnya
|
4. Sosiometri
Untuk mendapatkan materi di dalam sosiometri, biasanya
dipergunakan angket sosiometri dan hasil dari kuesioner ini diolah lebih lanjut
sehingga menghasilkan sosiometri itu. Angket tersebut dapat berbentuk sebagai
berikut :
1. Bentuk pertama
Tanggal : ...........................
Nama :
..............................
Kriterium : ........................
Yang disukai : Yang tidak disukai :
1.
............................................. 1.
............................................
2. .............................................
2. ............................................
3.
............................................. 3.
............................................
2. Bentuk kedua.
A. Siapakah diantara teman-temanmu
yang kamu pilih sebagai teman belajar ?
1.
............................................alasan
...............................................
2.
............................................alasan
...............................................
3.
............................................alasan
...............................................
B. Siapakah diantara teman-temanmu
yang tidak kamu sukai untuk belajar bersama ?
1.
............................................alasan
...............................................
2. ............................................alasan
...............................................
3.
............................................alasan
...............................................
Dengan melihat angket sosiometri, kita dapat mengetahui
macam/ bentuk dalam
menentukan hubungan sosial :
1.
Pemilihan sebagai arah yang positif.
2. Pemilihan sebagai arah yang
negatif.
Angket sosiometri yang telah diisi
oleh murid dikumpulkan serta dianalisis serta di sajikan dengan cara-cara
tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan untuk membaca. Siapa murid yang
paling disenangi dan murid yang paling tidak disenangi oleh teman-teman
sekelas.
Ada beberapa cara untuk penyajian
data hasil angket sosiometri . Cara yang pada umunya dilakukan adalah
menggunakan peta sosiometri dan sosiogram.
Untuk lebih memperjelas uraian tersebut diatas, dibawah ini disajikan contoh
pembutan peta sosiometri dan sosiogram. Misalnya, kelimpok terdiri dari sepuluh
murid. Dengan menggunakan angket sossiometri untuk memilih dua orang teman yang
paling disenangi, diperolae hasil sebagai berikut:
A
memilih B dan C
B
memilih C dan E
C
memilih E dan F
E
memilih F dan H
F
memilih C dan E
G
memilih A dan E
H
memilih G dan I
I
memilih H dan J
J
memilih H dan I
Hasil angket sosiometri kesepuluh orang murid tersebut apabila disajikan
seperti diatas, maka guru sulit dan lama menentukan siapa murid yang paling
banyak dipilih, siap yang paling tidak populer, dan siapa yang terisolasi dari
teman-temannya. Untuk memudahkan guru mengenali siapa yang paling banyak
dipilih, tidak disenangi, terisolir dsb, data tersebut dapat disjikan dalam
bentuk peta sosiometri seerti di bawah ini.
Bagan 4
Peta Sosiometri
Murid
|
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
G
|
H
|
Jumlah
|
A
|
-
|
X
|
x
|
2
|
|||||
B
|
-
|
x
|
x
|
2
|
|||||
C
|
-
|
x
|
x
|
2
|
|||||
D
|
-
|
x
|
x
|
2
|
|||||
E
|
-
|
x
|
x
|
2
|
|||||
F
|
x
|
-
|
x
|
2
|
|||||
G
|
x
|
x
|
-
|
2
|
|||||
H
|
-
|
x
|
x
|
2
|
|||||
Jumlah
|
1
|
2
|
1
|
5
|
3
|
2
|
2
|
16
|
Dengan peta sosiometri diatas secara mudah dan cepat dapat dikenali siapa murid
yang paling banyak dipilih, siapa yang paling populer, dan siapa yang
terisolasi. Akan tetapi akan sukar juga untuk mengenali siapa murig yang
saling memilih, kecerendungan terbentuknya anak kelompok, dsb. Oleh sebab itu,
dari bagan sosiometri dapat dibuat bentuk penyajian data sosiometri yang lebih
baik, yaitu dengan membuat sosiogram.Dengan sosiogram akan dilihat dengan mudah
mengenai:
(1)
Status hubungan masing-masing murid (dipilih atau ditolak).
(2)
Besarnya jumlah pemilih untuk setiap murid.
(3)
Arah pilihan dari dan terhada murid tertentu.
(4)
Kualitas arah pilihan.
(5)
Intensitas pilihan.
(6)
Ada tidaknya pusat pilihan.
(7)
Ada tidaknya isolasi, yaitu murid yang tidak dipilih oleh teman-temannya.
(8)
Kecerendungan terbentuknya kelompok.
http://ajengayuvindriatin.blogspot.com/2011/12/pengumpulan-dan-penyimpanan-data.html
DAFTAR PUSTAKA
https://navelmangelep.wordpress.com/tag/jenis-jenis-instrumen-non-tes diakses
tanggal 1 Juni 2014)
http://nekocume.blogspot.com/2013/09/instrumen-non-tes.html diakses
tanggal 1 Juni 2014)
http://yenifarikha.wordpress.com/2012/05/08/makalah-pengembangan-instrumen-non-tes/ diakses tanggal 1 Juni 2014)
http://ajengayuvindriatin.blogspot.com/2011/12/pengumpulan-dan-penyimpanan-data.html diakses
tanggal 1 Juni 2014)
Langganan:
Postingan (Atom)